|
FOTO : ILUSTRA |
AKU terkejut, ketika
menerima buku warna abu-abu. Ya, rapor sekolah menengah atas (SMA) yang pertama
kuterima. Dalam buku itu disebutkan ibuku bernama Yuna, sedangkan di kolom nama
ayah tidak tertulis nama siapa pun. Kolom itu kosong.
Mungkinkah aku ini anak yang lahir dari pecahan
batu di rimba Tuhan? Atau aku ini anak yang lahir dari rahim bongkahan kayu di
pegunungan nusantara? Ah, aku tak tahu. Perlahan, bulingan jernih menetes di
pipiku.
Aku bingung siapa aku sebenarnya.
Langkahku gontai menuju gubuk tua Mak Saleha, orang yang selama ini
kukira ibuku.
Saat itu, Mak-begitu aku memanggil Mak Saleha-sedang di
kebun.Wanita ringkih ini sudah tujuh tahun menemaniku. Sejak aku lahir entah
dimana.
Senyumnya menyambutku. Mak memagang parang
kecil, dia baru saja menyiapkan kayu bakar untuk masak sore nanti. Keringatnya
memasahi baju kaos lusuh itu. Nafasnya terlihat ngos-ngosan. Mak letih. Ah, tak
mungkin kutanyakan masalah Ayahku saat ini.
“Sudah pulang anak Mak?. Bagaimana rapornya,
biru semua atau ada merahnya?”
“Aku rangking satu Mak. Tadi, Bu Ratih kirim
salam pada Mak,” jawabku sambil duduk disamping Mak. Mak memperhatikan isian
raporku. Dia tersenyum bangga.
“Harus pertahankan prestasi. Nanti, Mak buatkan
kue bingkhang kesukaanmu,” kata Mak
sambil merapikan kayu bakar.
***
Malam merangkak naik menuju puncak. Sinar bulan
menerabas masuk lewat atap rumbia rumah kami. Aku tak bisa memejamkan mata.
Kulihat Mak tertidur pulas. Dia terlalu letih hari ini. Selama ini Mak Saleha
kupikir benar-benar orang tuaku. Setiap kali mengambil rapor SD sampai SMP dia
selalu menyimpan rapor di lemari. Mak hanya mengatakan, bahwa nilaiku baik dan
harus dipertahankan.
Hari ini aku baru sadar, bahwa aku bukanlah
anak Mak Saleha. Ibuku Yuna. Entah dimana wanita itu dan mengapa aku bisa
telantar disini. Mak terbangun dari tidurnya. Lalu, mengambil segelas air di
meja samping tempat tidur.
“Kenapa belum tidur? Hayo, cerita sama Mak,”
“Mak...gini...aduh...gimana ya mulainya.”
“Mulai saja cerita. Mak siap membantu kamu
Dara”
“Tapi jangan marah?”
Sejurus kami terdiam. Mak menatapku
dalam-dalam. Aku mulai bertanya siapa aku sebenarnya. Lalu, siapa Yuna? Mengapa
nama ayahku tidak ada di kolom rapor? Mak terdiam. Wajahnya terlihat gelisah.
Bingung.
“Mengapa Mak bohong selama ini?”
“Aku tak mau kamu tahu sebenarnya Dara. Sudah
puluhan tahun kusimpan rahasia ini. Cukup Mak saja yang tahu? Mata tua itu
mulai mengeluarkan air. Menetes perlahan membasahi pipi keriput. Mak mengatur
nafasnya.
***
DULU, aku dan Mak mu adalah tenaga kerja wanita
(TKW) di Timur Tengah. Ibumu bernama Yuna. Ayahmu, aku sendiri tidak tahu siapa
namanya. Yuna bekerja sebagai pencuci pakaian di salah satu asrama milik
perusahaan swasta di sana. Gajinya lumayan, Rp 5 juta per bulan, ditambah bonus
dan tunjangan lembur. Ibumu wanita yang baik. Rajin ibadah, dan sangat
mencintai kakek dan nenekmu. Semua uang yang dihasilkannya dikirim ke kampung.
Tujuannya, agar kakek dan nenekmu tidak perlu menggarab sawah dan beternak
seperti petani kebayakan. Waktu itu kami satu tempat kos di sana.
Satu pagi, Ibumu datang mencuci pakaian di
tempat kerjanya. Saat itulah peristiwa itu terjadi. Ibumu diperkosa oleh
puluhan pria yang menginap di situ. Ibumu pingsan. Tidak sadarkan diri tiga
hari dan tiga malam. Sembilan bulan kemudian, ibumu melahirkan di salah satu
rumah sakit di sana. Dia tidak mahu pulang kampung. Malu.
Lalu, ketika usiamu setahun, aku dan ibumu
sepakat pulang ke Indonesia. Kami pulang menggunakan boat ala kadar. Kami
pendatang haram di Timur Tengah. Dalam perjalanan, kapal kami karam. 20
penumpang tenggelam. Ibumu salah satunya. Tidak ditemukan jenazahnya hingga
kini. Sedangkan aku berhasil menyelamatkan mu. Sejak saat itu, kuputuskan untuk
menganggapmu anakku.
Aku bahkan tak tahu dimana alamat keluarga
Ibumu di Pulau Jawa sana. Kuputuskan membawamu kemari. Ke desa ini. Seluruh
warga kampung mencaciku. Menghujat dengan kata tak senonoh. Mereka mengira aku
melacurkan diri dan pulang bawa anak jaddah. Kuacuhkan semua tuduhan itu.
Bahkan, sampai kini, aku tak menikah, tak ada yang mahu denganku. Mereka
menganggap aku hina, tanpa tahu cerita sebenarnya.
Sakit memang. Meski begitu, aku tetap tabah. Bagiku,
kamu amanah terindah yang dititipkan Tuhan. Aku harus merawatmu hingga dewasa. Tidak
ada maksud untuk menipumu Dara. Aku terdiam. Mak juga diam. Kami lalu menangis.
Aku terpukul mengetahui takdirku. Ibuku entah
dimana, ayahku entah siapa?. Hidup memang penuh dinamika. Tak bisa diprediksi
takdir Illahi. Penuh teka-teki. Kurenungi takdir ini. Kucoba fahami hikmah
dibalik elegi.
Aku ini anak jaddah, dari lelaki bedebah.
Namun, tak guna mengumpat amarah, karena hidup penuh hikmah. Kini, aku
bertahan, di lorong sunyi hati. Membenahi mental sejati, menyiapkan hidup yang
terus berlanjut nanti. Aku anak seribu ayah.
Masriadi Sambo
Penikmat
sastra. Menetap di Lhokseumawe.