MOST RECENT

|

“WH TIDAK SIAP”


PERSOALAN penegakan syariat Islam tampaknya menemui kendala yang serius di Aceh. Pasalnya, penerapan syariat Islam secara kaffah sejak tahun 2002 silam itu tidak didukung dengan sumber daya manusia (SDM) yang memadai. Ditambah lagi jumlah personel wilayatul hisbah (polisi syariat Islam) yang tidak memadai. Di Lhokseumawe,misalnya, hanya memiliki 30 personel. Jumlah itu jauh dari angka ideal, yang diperkirakan mencapai 300 orang untuk mengawasi pelaksanaan syariat Islam di empat kecamatan dalam wilayah kota itu.


Kepala Kantor Satuan Pamong Praja, dan Wilayatul Hisbah Lhokseumawe, Ridwan Jalil mengaku bahwa SDM di lembaga yang dipimpinnya memang tidak memadai. “Begini, sejak 2002 sampai sekarang, beluma ada sekali pun pelatihan teknis penerapan syariat Islam yang diberikan kepada personel WH. Idealnya, ada pelatihan. Sehingga, mereka faham benar, tugas mereka apa. Tidak ada pelatihan ini terajdi di seluruh Aceh,” terang Ridwan Jalil, Senin (28/9).


Selain itu, Ridwan menilai, qanun yang telah disahkan tidak didukung oleh perangkat pelaksanaan qanun itu. “Untuk seluruh Lhokseumawe, kami butuh 300 orang WH. Itu akan dibagi dalam tugas pengawasa, sosialisasi, pemeriksanaan, penindakan dan lain sebagainya. Ini, kami hanya punya 30 orang WH. Rekruitmen WH juga tidak ada aturan yang sama di seluruh Aceh. Harusnya, ada system yang lebih bagus, dengan bidang ilmu yang telah ditentukan untuk orang-orang WH ini,” terang Ridwan.


Dia menilai, penerapan syariat Islam di seluruh Aceh masih banyak terkendala pada kelemahan qanun. Misalnya, dalam qanun khalwat, disebutkan bahwa orang yang berkhalwat harus dilengkapi dengan saksi maksimal empat orang. “Persoalannya, bagaimana jika yang melakukan khalwat ini tidak ada saksi. Tapi dia mengakui perbuatannya, dalam qanun tidak disebutkan soal pengakuan pelaku meusum ini. Ini juga kelemahan qanun,” terang Ridwan. Kelemahan lainnya, tidak disebutkan apabila terhukum cambuk atas pelanggaran hukum syariat Islam bisa dijemut paksa, bila tidak menghadiri eksekusi hukuman cambuk. Penerapan syariat Islam di Aceh, masih pada tataran kulit luar saja. Bahkan, mengejutkan, ketika Ridwan Jalil menyebutkan bahwa masyarakat Aceh belum siap menerapkan syariat Islam secara kaffah.


Dia membuktikan, bahwa ada puluhan bukti pernyataan tuha peut dan tuha lapan dari sekian desa di Lhokseumawe, meminta agar kasus khalwat dan pelanggaran syariat Islam lainnya diselesaikan secara hukum adat. Hukum adat yang dimaksud adalah bila ditangkap khalwat maka akan dinikahkan, tanpa dicambuk sebagaimana amanah qanun syariat Islam. Ini pula yang mengakibatkan tidak terjadi eksekusi cambuk lagi di kota yang sebelumnya bergabung dengan Kabupaten Aceh Utara itu.


“Saya melihat multi efek yang ditimbulkan dari hukuman cambuk, begini, ada orang yang telah dicambuk bercerai dengan istrinya. Ada yang pindah kampung, ada yang anaknya malu untuk ke sekolah. Saya melihat efek ini, sehingga, keputusan kita, setelah dibina, dipanggil orang tua kedua pasangan, tokoh desa, pelaku khalwat dinikahkan. Kalau kasus khamar, kita begitu juga, kita lihat multi efeknya,” ungkap Ridwan.


Saat disinggung persoalan qanun jinayat, yang hingga berita ini diturunkan belum ditandatangani oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, Ridwan sangat menyesalkan sikap dewan mengesahkan qanun tersebut. Dia berpendapat, perlu dibenahi ekonomi masyarakat Aceh terlebih dahulu, baru pada tataran penerapan qanun yang lebih tegas. Untuk mengesahkan qanun itu, seharusnya DPRA memikirkan soal structural WH, dan perangkat pendukung lainnya. “Saya kesalkan,jika DPRA tidak melihat banyak sisi tentang qanun jinayat itu. Harusnya, DPRA minta dulu pendapatan ulama Se-Aceh.Jangan dipolitisir. Kalau diterapkan qanun jinayat, maka lembaga WH harus berdiri sendiri. Tidak boleh bergabung dengan bidang lainnya lagi,” ujar Ridwan.


Dia menyebutkan, perlu sosialisasi selama 15 tahun untuk qanun jinayat kepaa masyarakat. Selain itu, dilengkapi pula dengan teknis yang jelas, sampai sekecil mungkin. “Misalnya, juga harus dibuat aturan tentang pedagang yang menjual pakaian ketat dan seksi. Persoalan ini bagaimana, baju seksi kan langkah paling awal untuk mencegah generasi muda kita agar jangan lagi mengenakan pakaian yang tidak sesuai norma agama. Jadi, sekecil apa pun harus diatur. Jangan yang besar-besar saja, sedangkan kita lupa pada yang kecil-kecil,” pungkas Ridwan Jalil mengakhiri perbincangan. (masriadi)

Publis Oleh Dimas Sambo on 00.56. Filed under , . You can follow any responses to this entry through the RSS 2.0. Feel free to leave a response

1 komentar for "“WH TIDAK SIAP”"

  1. http://www.dana-syariah.com/?id=rahim

Posting Komentar

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added