MOST RECENT

44 Catatan Tentang Sang Wali




Catatan > Saya menulis “Saya, Hasan Tiro dan Face Book” dalam buku ini. Kiranya, bisa tercerahkan. Mengenai resensi singkat tentang buku ini, berikut disajikan tulisan Safriadi Syahbuddin | wartawan Serambi Indonesia.

KAMIS 3 Juni 2010, Tgk Hasan Muhammad Ditiro (Hasan Tiro), meninggal dunia di usia 86 tahun. Seluruh masyarakat Aceh berkabung. Seorang tokoh besar yang juga kunci lahirnya perdamaian di Aceh, pergi untuk selama-lamanya. Banyak pesan dan sejarah yang ditinggalkan Deklarator Gerakan Aceh Merdeka (GAM) ini, meski pesan-pesan dan sejarah itu tak sempat tertulis dengan rapi


Menyadari akan banyaknya pesan dan sejarah yang ditinggalkan Hasan Tiro, yang patut untuk diceritakan kembali kepada generasi penerus bangsa, sejumlah penulis mencoba “melahirkan” kembali perjalanan hidup dan sosok Tgk Hasan Tiro, dalam tulisan. Tulisan-tulisan itu kemudian dibingkai dan disajikan dalam buku berjudul “Hasan Tiro; the Unfinished Story of Aceh”.


Minggu tanggal 1 Agustus 2010, tepat pada 60 hari meninggalnya Tgk Hasan Tiro, BANDAR Publishing (BP) Banda Aceh meluncurkan buku yang ditulis oleh 44 penulis dengan latar belakang suku, agama, dan bangsa yang berbeda. Buku itu diluncurkan untuk mengenang Hasan Tiro, sekaligus merekam jejak peradaban Aceh.


Banyak sisi menarik dan mengandung nilai-nilai sosial yang tersurat dalam buku setebal 308 halaman itu. Para penulis melepaskan semua atribut yang melekat pada dirinya, lalu melihat dan menulis sosok Tgk Hasan Tiro sebagai seorang yang berpengaruh dan telah membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat, khususnya masyarakat Aceh.


“Coretan-coretan” dalam buku ini memang mayoritas ditulis oleh mereka yang berdarah Aceh, dari berbagai kalangan. Namun, tak sedikit penulis yang berasal dari luar Aceh seperti Sumatera Utara, Jakarta, Bandung, Jawa. Bahkan, juga ditulis oleh warga negara asing seperti Lilianne Fan dan Prof James P Siegel.


Ada yang melihat Hasan Tiro sebagai seorang pemikir yang kritis dan pejuang yang tangguh, ada pula yang menceritakan pengalaman saat bertemu Sang Wali. Ada yang menyematkan Hasan Tiro sebagai figur jati diri Aceh, pembangkit sejarah yang disembunyikan, juga ada yang menggambarkan kembali masa-masa yang dilalui Hasan Tiro, dalam buku yang disunting oleh Husaini Nurdin.


“Kami sadar bahwa sedikit sekali yang kita ketahui tentang sosok Wali (Tgk Hasan Tiro-red). Karena itu, kami mencoba mengajak teman-teman yang punya referensi tentang Wali, untuk menulisnya menjadi sebuah buku. Kami berharap, buku ini dapat bermanfaat bagi masyarakat,” kata Direktur BANDAR Publishing, Mukhlisuddin Ilyas, usia seremoni peluncuran buku tersebut.


Mukhlis didampingi Manajer BP, Lukman Emha, mengatakan peluncuran buku “Hasan Tiro” sama sekali tidak mengandung unsur politis. Buku itu hanya untuk melukiskan peradaban Aceh, baik ataupun buruk. Mukhlis dan Lukman menganggap, sejarah Hasan Tiro perlu dicatat dan direkam dengan baik.


“Selama ini, orang tua kita sering mewariskan sejarah dengan hanya bercerita dan jarang sekali ditulis dalam bentuk buku atau catatan. Ini pula yang menyebabkan sering kali sejarah Aceh hanya dianggap sebagai mitos belaka. Kami tidak ingin sejarah dan peradaban Aceh hilang begitu saja,” papar Lukman Emha.


Mukhlis dan Lukman berharap, dengan peluncuran buku tersebut tidak ada kriminalisasi terhadap BANDAR Publishing yang didirikan pada 2007 lalu. Pasalnya, Mukhlis dan Lukman serta semua yang terlibat dalam pelncuran buku itu mengaku “mencium” riak-riak ke arah itu.


“Kami sama sekali tidak berniat mencari keuntungan melalui peluncuran buku ini. Kami hanya bertekad untuk merekam sejarah dan peradaban Aceh, seperti Hasan Tiro pula yang telah menulis sejarah-sejarah Aceh dalam puluhan bukunya,” pungkas Lukman Emha.(safriadi syahbuddin/serambi indonesia)

03.38 | Posted in , | Read More »

PERS KEBABLASAN DI ACEH



MINGGU ketiga Ramadan 1431 Hijriah, bisa jadi menjadi salah satu bukti kebablasan oknum pekerja pers di Aceh. Saat itu, Arif Surahman, jurnalis Tabloid Citra Aceh (media lokal berkantor pusat di Kota Langsa) memuat sebuah berita tentang dugaan mobil dinas yang dibawa oleh mantan kepala bagian kelautan, Dinas Kelauatan dan Perikanan (DKP) Lhokseumawe, Nur Khalis, ditangkap di Aceh Besar, dengan tuduhan membawa narkoba. Tidak tanggung-tanggung, dalam berita itu, Arif menggunakan sumber anonim (sumber yang dirahasiakan) sebagai sumber utama. Sumber kedua berita adalah pegiat lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengutuk bahwa mobil dinas tersebut disalahgunakan. Sumber ketiga, konfirmasi terhadap kebenaran berita itu sendiri pada sang tertuduh, yakni Nur Khalis.

Sekilas tidak ada yang salah, dalam berita itu. Cukup berimbang. Kesalahan berita itu baru terungkap, ketika Nur Khalis, menodongkan pisau tajam ke leher si wartawan di satu sore di rumahnya. Sontak, komunitas wartawan di Lhokseumawe dan Aceh Utara heboh terhadap adanya kekerasan terhadap pekerja pers ini. Tentu, tindakan Nur Khalis itu masuk dalam ranah kriminal, dan patut diganjar hukum pidana.

Tindakan Nur Khalis kemudian dilaporkan secara resmi oleh Arif Surahman, kepada Polisi Sektor (Polsek) Banda Sakti, Lhokseumawe.

Saat itu, saya dan teman-teman Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Lhokseumawe, mencoba menelaah isi berita itu. Diskusi kecil membahas persoalan itu pun digelar. Ada yang menganalisis dengan menggunakan metode conten analysis (metode analisis isi) dan ada pula yang menggunakan metode sebab-akibat. Tak mungkin diancam bunuh, bila tidak menulis sesuatu yang merugikan orang tertentu.

Saya menyimpulkan, antara Arif Surahman dan Nur Khalis, keduanya dalam posisi salah. Kesalahan Arif ini bisa disebutkan, merupakan kebablasan dari oknum pekerja pers di Aceh. Ada beberapa hal kesalahan yang saya temukan dalam berita tersebut.

Pertama, sumber kedua, dalam berita itu disebutkan salah seorang aktifis lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bernama Arif Surahman. Belakangan, diketahui, sumber ini adalah sang wartawan sendiri, yang juga bekerja pada salah satu LSM di Lhokseumawe. Tindakan ini sudah melanggar melanggar Pasal 3, kode etik wartawan Indonesia (KEWI). Pasal 3, KEWI menyebutkan, wartawan Indonesia selalu menguji informasi, memberitakan secara berimbang, tidak mencampurkan fakta dan opini yang menghakimi, serta menerapkan asas praduga tak bersalah. Penjabaran pasal ini menyebutkan, opini yang menghakimi adalah pendapat pribadi wartawan. Hal ini berbeda dengan opini interpretatif yaitu pendapat yang merupakan interpretasi wartawan atas fakta (Lembaga Pers DR Soetomo, Jakarta, 2010). Kasus Arif, tentu masuk dalam kategori memasukkan opini pribadi.

Kedua, ketika Nur Khalis mengancam Arif Surahman dengan sebilah pisau ke lehernya, agar menyebutkan siapa sumber rahasia itu, Arif langsung menyebutkan nama sang sumber tersebut. Idealnya, wartawan tidak boleh menyebutkan sumber yang dirahasiakannya (anonim) pada siapa pun. Kecuali, jika kasus itu bergulir ke depan pengadilan. Hanya dipengadilan, sumber anonim ini bisa dibuka. Selain itu, wartawan harus faham, tujuh kriteria sumber anonim seperti yang disebutkan oleh Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (1999) yang kemudian dikampanyekan oleh Yayasan Pantau Jakarta. Ketujuh keriteria itu, yakni sumber tersebut berada dalam lingkaran pertama “kasus” yang diberitakan, misalnya dia pelaku atau saksi mata. Bukan penggosip, yang menyampaikan gosip pada wartawan untuk tujuan tertentu. Selain itu, keselamatan sumber tersebut terancam bila identitasnya kita tulis.Contohnya, dia dan keluarganya akan kehilangan nyawa bila namanya kita cantumkan. Bukan sekadar kehilangan pekerjaan atau hubungan sosial semata. Motivasi sumber anonim memberikan informasi, apakah benar untuk kepentingan publik atau kepentingan pribadi. Selain itu, integritas sumber harus diperhatikan. Satu hal yang sering dilupakan, penggunaan sumber anonim harus mendapatkan izin dari atasan, semisal redaktur halaman, redaktur pelaksana, dan pemimpin redaksi. Sumber anonim orang yang independen. Selain itu, perlu disepakati dengan si sumber anonim, bahwa perjanjian pengunaan nama anonim akan batal, bila kemudian hari dia terbukti berbohong, dan patut namanya dipublish ke publik, sebagai ganjaran kebohongan itu sendiri.

Kecendrungan wartawan di Aceh saat ini, langsung menulis sumber anonim, tanpa memverifikasi keabsahan sumber tersebut. Sehingga, banyak narasumber yang merasa dirugikan. Karena, pernyataan yang dikeluarkan oleh sumber anonim itu tidak didukung oleh data dan fakta yang kuat. Sehingga, terkesan fitnah dan memojokkan seseorang. Tentu ini tidak ideal, dan tak patut ditiru. Wartawan dan media yang baik, tentu menggunakan standar jurnalisme yang tinggi, untuk menghindari gugatan hukum dikemudian hari.

Ketiga, persoalan penggunaan hak jawab. Orang yang merasa dirugikan dari pemberitaan pers, bisa menggunakan hak jawabnya. Nur Khalis, sebagai orang yang disudutkan seharusnya menggunakan hak jawabnya dalam kasus itu. Tanpa perlu melakukan pengancaman dengan sebilah pisau. Dalam aturan yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, Jakarta, media wajib memeberikan hak jawab selama 60 hari sejak berita itu disiarkan. Itu pun, jika memang dalam berita itu belum ada hak jawab, atau hak jawab terlalu sedikit. Misalnya, si narasumber menyebutkan, maaf saya sedang sakit di rumah sakit. Minggu depan, saya akan berikan keterangan lebih lengkap. Si wartawan, wajib memberikan hak jawab sinarasumber tersebut. Sehingga, tidak muncul sengketa antara pers dan pejabat publik atau narasumber dari kelompok lainnya.

Bahkan, menurut Atmakusumah, jurnalis senior dan pengajar di LPDS Jakarta, dalam sebuah perbincangan dengan saya di Banda Aceh, menyebutkan, jika media tertentu, mengambil berita itu dari kantor berita, atau situs online lainnya, lalu menyiarkannya, maka media yang menyiarkan berita itu wajib memberikan hak jawab pada pihak yang merasa dirugikan. Misalnya, media A, mengambil salah satu berita dari kantor berita ANTARA milik Indonesia, lalu menyiarkannya, maka media A juga wajib memberikan hak jawab orang yang merasa dirugikan.

Keempat, keberimbangan (cover both side). Keberimbangan yang dipahami oleh wartawan secara umum adalah telah mengkonfirmasi kepada narasumber yang diduga melakukan kesalahan. Bisanya, format penulisan berita yang digunakan yakni menulis segala macam tudingan pada bagian atas berita, sedangkan konfirmasi hanya beberapa paragraf saja dibagian bawah berita. Idealnya, yang dimaksud yaitu sejak alinea pertama telah disebutkan bahwa orang yang diduga bersalah itu membantah semua tuduhan tersebut. Hal ini mengingat, umumnya, pembaca surat kabar hanya membaca tiga sampai empat paragraf pertama. Tidak membaca seluruh isi berita secara utuh. Sehingga, media benar-benar menjadi tempat yang netral, dan tidak memojokkan salah satu pihak. Soal siapa yang salah dan benar, biarlah sidang pembaca yang menilai. Soal pembuktian kesalahan itu, sudah ada aparat hukum, dari kepolisian, kejaksaan sampai pengadilan yang menelusuri dan menjatuhkan vonis.

Kasus Arif Surahman dan Nur Khalis patut menjadi renungan kita semua. Kasus ini ditutup, karena keduanya sepakat untuk berdamai. Namun, kasus itu patut dijadikan bahan renungan untuk kalangan pekerja media, pejabat publik dan seluruh sidang pembaca. Sehingga, jika ada yang merasa dirugikan oleh pemberitaan pers, silahkan menempuh jalur hak jawab. Tak perlu menggunakan kekerasan. Meski begitu, pers juga patut melakukan introspeksi diri. Sudahkah memenuhi kode etik, dan memahami UU Pokok Pers.

Akhir tulisan ini, saya hanya ingin mengatakan, pers adalah pilar demokrasi. Kebebasan pers, bukan kebebasan tiada batas, seperti lautan luas tak bertepi. Kebebasan dalam menggali, mencari, menulis, dan menyiarkan fakta dan data pada publik. Bukan kebebasan kebablasan, sesukanya, tanpa mengikuti aturan yang berlaku. Mari merenung []

SUMBER > http://acehinstitute.org/index.php?option=com_content&view=article&id=313:pers-kebablasan-di-aceh-&catid=77:humaniora&Itemid=127

03.27 | Posted in , | Read More »

Pemkab Acut jangan ‘Cengeng’



SEMENTARA itu, Koordinator Badan Pekerja LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, Senin (6/9) kepada Kontras menyebutkan, dinamika keuangan Aceh Utara (Acut) memang sangat kritis. Upaya yang harus dilakukan sebenarnya bukan hanya meminta bantuan kepada provinsi. Pemkab Acut jangan cengeng karena ada beberapa tawaran yang dapat dilakukan antara lain menghentikan penerimaan pegawai negeri, pegawai honor dan bakti. Dengan jumlah pegawai yang saat ini capai 12.056 orang, sudah sangat cukup untuk melaksanakan proses birokrasi di 27 kecamatan di Acut.

Faktanya proses kinerja dengan banyaknya pegawai negeri saat ini justru tak meningkatkan pelayanan. Bukan hanya ketika terjadi krisis saat ini, akan tetapi sejak jauh-jauh hari sebelumnya. “Jadi, penerimaan pegawai negeri perlu dihentikan sementara, guna efesiensi penggunaan anggaran,” katanya.

Selanjutnya, Pemkab Acut perlu menggenjot PAD. Penggalian PAD selama ini rata-rata di atas Rp 100 miliar. Tetapi pada tahun 2009 dan 2010--termasuk target 2011--hanya Rp 38 miliar. Artinya, ini sangat ironis dibanding potensi PAD Acut yang cukup banyak, baik dari pajak dan retribusi. “Potensi kebocoran uang negara dari sektor PAD cukup besar, jadi target Rp 38 miliar sangat tidak logis. Saya melihat peran legislatif juga sangat lemah dalam mengawasi keuangan di DPKKD. Jika target tak logis, sebuah kabupaten berpotensi bangkrut. Seharusnya ada upaya konkret yang dilakukan untuk menggenjot PAD dengan cara memaksimalkan potensi yang ada,” katanya.

Opsi yang lain yang ditawarkan adalah agar Pemkab Acut dapat mengelola aset dengan baik. Acut punya banyak aset yang digunakan Pemko Lhokseumawe, baik berupa gedung maupun tanah. Taksasi nilai aset ini capai Rp 119 miliar. Semestinya ada mekanisme dengan cara ganti rugi terhdap aset ini. Banyak aset yang pindah tangan tanpa ada ganti rugi. Pihak DPRK yang menangani aset atau Komsi E, diharapkan dapat menginventarisis aset selanjutnya dapat dikelola. Acut.

Sementara itu, Alian mengatakan eksekutif dan legeslatif harus lebih hemat dalam penggunaan anggaran. Selama ini terkesan tidak efesien bahkan boros. Hal ini akan berpengaruh kepada keuangan Acut. Eksekutif dan legislatif harus menahan diri dan harus benar-benar efektif menetapkan prioritas anggaran.

Kabupaten manja
Terkait permintaan bantuan yang dilakukan lagi oleh Pemkab Acut, Alfian mengatakan, pada tahun pertama krisis Acut, semua pihak tentu dapat memahaminya. Akan tetapi, ketika hal tersebut dilakukan kembali saat ini, dikhawatirkan akan terjadi kecemburuan dari kabupaten lain. Apalagi ada beberapa kabupaten yang juga bermasalah dalam keuangan seperti Kabupaten Birenuen. Hal ini juga dinilai dapat menimbulkan gejolak antara kabupaten dengan provinsi. “Ini dapat menjadi pertimbangan eksekutif dan panggar DPRA. Mereka harus berhati-hati membuat keputusan,” katanya.

Selain itu, permintaan bantuan yang berulang ini dapat membuat citra Aceh Utara sebagai daerah tak mandiri dalam mengelola keuangan. Padahal, kemandirian ini yang perlu dijaga oleh semua kabupaten/kota. Alvian menambahkan, pihak provinsi diminta jangan terlalu memanjakan Pemkab Acut, pasalnya pihak eksekutif dan legislatif di Acut justru belum melakukan langkah-langkah penyelamatan keuangan di Acut seperti yang ditawarkan LSM MaTA.

Pemerintah kembali diingatkan untuk berhati-hati. Memang langkah yang ditawarkan MaTA tidak serta-merta dapat mengimbangi kebocoran dana deposito Rp 220 miliar. Setidaknya langkah konkret perlu segera dilakukan sejak dini dan berkelanjutan. “Jika pun saat ini bupati menjalani proses hukum, namun secara administrasi, bupati harus tetap bertanggung jawab dalam mengelola keuangan. Bupati bisa saja memanfaatkan wakil dan para pembantunya untuk menjalankan tugas. Dalam situasi inilah kita dapat melihat tidak profesionalnya seorang pemimpin dalam mengelola daerahnya,” pungkas Alvian. (gun)

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 558 | Tahun XII 9 - 15 September 2010

02.20 | Posted in , , | Read More »

Keputusan ‘Aneh’ PN Lhoksukon




Masriadi Sambo - KONTRAS
Minggu ini, dua terdakwa kasus korupsi pengadaan obat di Dinas Kesehatan Aceh Utara, tahun 2006 silam, dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon. Sebuah keputusan aneh. Pertarungan keadilan dilanjutkan ke Mahkamah Agung.

KAMIS, 6 Mai 2010, bisa dikatakan menjadi hari paling sial dalam hidup Zakaria SKm, pejabat pembuat teknis kegiatan (PPTK) di Dinas Kesehatan Aceh Utara. Dia bersama Direktur CV Ananda Jihan Humaira, Yosrizal, ditahan oleh Kejaksaan Negeri Lhoksukon. Sejak kecil, hingga dewasa, keduanya tak pernah bermimpi hidup dibalik jeruji besi.

Kejari Lhoksukon, Zairida M Hum, melalui Kasi Pidana Khusus, Hendra Busrian SH, menyebutkan, keduanya ditahan dalam kasus dugaan korupsi pengadaan obat-obatan di Dinkes Aceh Utara, tahun 2006 lalu. Keduanya ditahan sampai 26 Mei 2010 dan dititip di LP Lhoksukon. Setelah itu, status mereka diganti menjadi tahanan kota. Dari kasus itu, kejaksaan melakukan penyelamatan kerugian Negara sebesar Rp 197.363.921.

Hendra menyebutkan Zakaria SKM, diduga kuat melakukan kesalahan penyimpangan dan pengadaan denda keterlambatan terhadap pelaksanaan pengadaan obat-obatan untuk Puskesmas dan Pustu di Dinas Kesehatan Aceh Utara tahun 2006. Dari tersangka ini, mampu diselamatkan kerugian negara sebesar Rp 82.967.097,50.

Lebih jauh Hendra, menjelaskan Yosrizal, tersandung kasus yang sama. Yosrizal sebagai rekanan dengan nomor kontrak No027/363/KPBJ/Dinkes/2006/8 Nov 2006, karena telah memasukkan garansi Bank pelaksanaan yang palsu (bodong) dimana BPD Aceh tidak pernah menerbitkan atau mengeluarkan garansi bank untuk pelaksanaan proyek itu. Dari tersangka ini berhasil diamankan kerugian Negara sebesar Rp 114.396.824.

Dia menambahkan, sesuai dengan penyimpangan yang dilakukan, kedua tersangka dijerat Pasal 3, 12e UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP. Kemudian, proses persidangan pun berlanjut. Salah satu agenda persidangan yang menarik diikuti terjadi Rabu, 14 Juli 2010. Saat itu, majelis hakim mendengarkan, keterangan saksi ahli, M Huriyonto, dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh. M Huriyonto adalah salah satu auditor senior di BPKP Aceh.

Dalam keterangannya di depan majelis hakim, M Huriyonto, menyatakan kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp 120 juta. “Denda yang ditetapkan oleh Dinkes Aceh Utara dalam kasus pengadaan obat-obatan itu terlalu kecil. Pemutusan kontrak seharusnya dilakukan Desember 2006, namun baru dilakukan 4 September 2007. Setelah kita hitung sesuai ketentuan, kerugian negara Rp 120 juta,” kata M Huriyonto.

Sejak awal sampai akhir sidang kasus ini dipimpin Ketua Majelis Hakim Tauhari Tafsirin SH dan hakim anggota Jamaluddin SH dan Riswandi SH. Kedua pengacara terdakwa, yakni pengacara terdakwa Zakaria SKM, Yusuf Ismail Pase, dan pengacara Yosrizal, Sofyan Adami keberatan dengan hadirnya saksi ahli tersebut.

Pasalnya, pengacara menilai kehadiran saksi ahli tidak mendasar, karena tidak tertuang dalam berita acara pemeriksaan (BAP) sebelumnya. Namun, majelis hakim membolehkan hadirnya saksi ahli untuk didengarkan pendapatnya. Dalam persidangan itu, saksi ahli juga menjelaskan letak kerugian Negara dalam kasus itu. Dia berkali-kali menyebutkan, bahwa siapa pun auditornya, maka akan menyebutkan kasus itu sangat merugikan negara.

“Siapa pun auditornya, saya pikir, jika dia auditor benaran, maka dia akan mengetahui kerugian negara. Sangat jelas, angka kerugian negara dalam kasus ini,” ujar M Huriyonto, pria berdarah Batak, Sumatera Utara, itu mengakhiri keterangannya sore itu.

Dituntut 5 Tahun
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ferik Demiral SH dan Ruhamah SH menuntut Zakaria dihukum 5 tahun penjara plus denda Rp 100 juta dan subsider 6 bulan kurungan. JPU juga menuntut Yosrizal agar dihukum 4 tahun 6 bulan penjara ditambah denda Rp 100 juta dan subsider kurungan 6 bulan.

Selain itu, JPU juga menuntut kedua terdakwa menyediakan uang pengganti sisa kerugian negara sebanyak Rp 117 juta. Menurut jaksa, total kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 197 juta dan Rp 80 juta di antaranya sudah disita oleh kejaksaan beberapa waktu lalu.

Vonis bebas
Pada Rabu 1 September 2010, Zakaria dan Yosrizal bisa bernapas lega. Setelah empat bulan berkutat dengan kasus dugaan korupsi, keduanya siang itu divonis bebas oleh majelis hakim yang dipimpin oleh Tohari Tafsiri SH dan hakim anggota masing-masing Jamaluddin SH dan Rismawan SH.

Majelis hakim membacakan amar putusan setebal 65 halaman secara bergantian. Dalam amar putusannya, majelis hakim menilai kedua terdakwa tidak bersalah. Khusus untuk Zakaria, dinilai kesalahannya hanya pada ranah administratif saja. Sehingga, tidak mungkin kesalahan administratif dibawa ke ranah pidana, lebih spesifik tindak pidana korupsi. Terdakwa dibebaskan dari segala tuntutan dan direhabilitasi namanya.

Pagi itu, ruang sidang lantai satu, Pengadilan Negeri LHoksukon, dipenuhi oleh keluarga Zakaria. Terlihat anak, paman, keponakan dan istrinya memenuhi ruang sidang. Semua wajah tampak tegang ketika majelis hakim membacakan amar putusan secara bergantian. Zakaria juga terlihat lesu, tidak bersemangat dan enggan menatap ke kamera wartawan.

Dia mengenakan kemeja kotak-kotak. Lalu, ketika majelis hakim memvonisnya dengan ganjaran bebas murni, Zakaria tersenyum girang. Melakukan sujud syukur dan memeluk seluruh keluarganya yang hadir. “Ini sangat berat. Namun, sekarang jauh lebih lega. Saya yakin sejak awal, saya tidak bersalah,” ujarnya kepada Kontras, usai persidangan. Hal senada disebutkan Direktur CV Jihan Humaira, Yosrizal. Keduanya kini bisa bernapas lega, menyambut Idul Fitri tak lagi dibui. Mereka bisa bersuka-cita di rumah bersama anak-istri.

Bertarung di MA
Namun, kebahagiaan Zakaria dan Yosrizal tampaknya tak bisa begitu lama. Pasalnya, Kejari Lhoksukon, Zairida M Hum, resmi menyatakan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung terkait putusan bebas yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Lhoksukon.

Zairida menilai vonis bebas itu sangat aneh dan tidak logis. “Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi (BPKP) sudah jelas menyatakan adanya kerugian negara sekitar Rp 190 juta lebih. Majelis hakim sendiri juga mengakui adanya kesalahan terdakwa, meskipun hanya kesalahan administratif. Tapi anehnya, kedua terdakwa malah divonis bebas,” kata Zairida M Hum.

Lebih jauh dia menjelaskan, proses tender obat-obatan tersebut melanggar Pasal 35, Keppres Nomor 80 Tahun 2003 tentang pedoman pelaksanaan pangadaan barang dan jasa, dimana terdakwa Yosrizal menggunakan garansi bank palsu.

“Ini sesuai keterangan saksi ahli dan ini menandakan proses kontrak cacat hukum atau tidak sah. Jika majelis hakim tidak menemukan adanya unsur pidana, semestinya bisa dialihkan ke perdata,” tegas Zairida. Sekadar diketahui, untuk kasus vonis bebas, maka JPU bisa mengajukan kasasi. Bukan banding ke Pengadilan Tinggi. Banding khusus untuk vonis lebih ringan dibanding tuntutan JPU. “Kita faighting lagi di MA,” pungkas Zairida M Hum.

Sementara itu, Masyarakat Transparansi Aceh menilai majelis hakim Pengadilan Negeri Lhoksukon secara tidak langsung telah ‘membuka’ ruang korupsi yang berpotensi menghancurkan keuangan negara. Buktinya, hakim memvonis bebas dua terdakwa perkara korupsi pengadaan obat-obatan di Aceh Utara.

Koordinator Badan Pekerja MaTA Alfian kepada Kontras, baru-baru ini di Lhokseumawe, menyebutkan, putusan bebas terhadap terdakwa korupsi Zakaria dan Yusrizal karena hakim mengabaikan pasal 4 UU No. 31/1999 yang telah diubah dengan UU No. 20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi. Bunyi pasal 4 itu, antara lain, bahwa “pengembalian kerugian keuangan negara tindak menghapus tindak pidana korupsi”.

“Artinya, langkah yang diambil hakim tersebut berpotensi membahayakan keuangan negara, karena di satu sisi hakim justru `mengajak’ pejabat dan pihak lainnya yang bermental korup untuk menggerogoti uang negara. Nanti jika diproses oleh penyidik, buru-buru mengembalikan kerugian negara, sesampai di pengadilan divonis bebas,” kata Alfian.

Menurut Alfian, vonis bebas terdakwa korupsi itu juga menunjukkan ke publik bahwa ternyata di Aceh Utara antara jaksa dengan hakim tidak sejalan dalam pemberantasan korupis. Padahal, kata dia, tindakan jaksa menyita uang dari terdakwa menunjukkan kuatnya potensi kerugian keuangan negara. Tapi begitu beraninya hakim membebaskan terdakwa korupsi itu.

“Kita mencurigai ada sesuatu di balik putusan yang kita nilai tidak murni sesuai fakta hukum. Karenanya, kita harapkan agar jaksa tidak hanya ngomong akan menempuh upaya kasasi ke Mahkamah Agung atas putusan hakim PN Lhoksukon itu, tapi upaya hukum tersebut perlu ditunjukkan buktinya ke publik,” tegas Alfian.

Sementara itu, Ketua Majelis Hakim kasus itu, Tohari Tafsiri SH, mempersilakan kedua belah pihak menggunakan proses hukum lainnya. “Sebagai pencari keadilan, saya persilakan JPU atau pengacara terdakwa untuk mengambil langkah hukum lain, setelah jatuh vonis. Jika JPU mau kasasi, silakan saja,” sebut Tohari. Dia menyebutkan, vonis yang diambil oleh majelis hakim telah didasari oleh fakta persidangan dan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Sekadar diketahui, proses kasasi ke Mahkamah Agung membutuhkan waktu sangat lama. Rata-rata, proses kasasi baru ditanggapi MA setelah tiga tahun. Umumnya, MA lebih mengejar kasasi yang terdakwanya ditahan oleh JPU dan dititipkan ke LP di sejumlah daerah. Jika terdakwa tidak ditahan, biasanya tiga tahun baru mendapat jawaban kasasi tersebut.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 558 | Tahun XII 9 - 15 September 2010

02.11 | Posted in , , | Read More »

Aceh Utara Menjadi Pengemis



Masriadi Sambo - KONTRAS
Sempat menjadi daerah terkaya di Aceh, kini malah menyandang predikat daerah termiskin. “Kiamat” sudah terjadi di Aceh Utara. Tak ada pembangunan lagi. Malah kini mereka mengemis untuk mendapatkan suntikan anggaran dari Pemerintah Provinsi Aceh.

BUPATI Aceh Utara, Ilyas Abdul Hamid akrab disapa Ilyas Pase, Senin, 16 Agustus 2010 lalu, mengirimkan surat kepada Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Surat dengan nomor 050/5207/2010 itu berisi permohonan bantuan keuangan untuk tahun 2011.

Dalam surat itu, bupati yang maju dari jalur independen ini meminta agar Irwandi Yusuf membantu pendanaan khusus untuk membayar gaji keuchik, imum mukim, sekretaris desa, kepala urusan gampong, tuha peut, dan kepala dusun. Selain itu, diminta pula untuk membayar gaji imam masjid, dari tingkat meunasah, kemukiman, kecamatan hingga imam masjid di kabupaten.

Selain itu, bupati juga meminta agar provinsi bersedia membayar gaji pimpinan dan guru dayah, plus guru balai pengajian. Dari semua items itu, Ilyas meminta suntikan dana sebesar Rp 59.203.500.000. Jumlah itu untuk membayar gaji 13.938 aparatur gampong, 1.162 gaji imam masjid, 5.941 gaji pimpinan dayah dan guru balai pengajian dari berbagai tipe.

Jika uang itu disetujui, maka uang itu akan dimasukkan dalam pos anggaran sekretariat daerah dan Dinas Syariat Islam Aceh Utara, tahun 2011 mendatang. Dalam surat itu, bupati berlasan, bahwa pendapatan Aceh Utara dari sektor bagi hasil migas, dari waktu ke waktu kian mengecil. Pendatan Aceh Utara tahun 2011 diperkirakan hanya sebesar Rp 712.236.943.900. Dari jumlah itu, sebesar Rp 545.118.310.919 digunakan untuk biaya tidak langsung, khususnya membiayai honor pegawai. Sisanya Rp 167. 118. 632.981 rencananya digunakan untuk belanja langsung.

Krisis keuangan dari sektor migas ini menjadi alasan utama, bupati “mengemis” suntikan dana ke provinsi. Tidak disinggung sedikit pun, bahwa Aceh Utara memiliki dana sebesar Rp 181 miliar yang kini dijadikan barang bukti, dalam kasus bobol kas daerah itu Rp 220 miliar. Kasus ini, kini dalam proses penyelidikan Polda Aceh. Bupati, Ilyas A Hamid, Sekda Syahbuddin Usman, dan Wakil Bupati Aceh Utara, Syarifuddin sudah diperiksa. Plus istri orang nomor satu dan dua daerah itu juga telah diperiksa.

Jumlah Rp 181 miliar itu tentu sangat besar. Cukup membayar gaji aparatur gampong, imum masjid, dan guru balai pengajian selama tiga tahun di daerah itu. Namun, apa boleh buat uang itu belum bisa diambil, masih ditahan sebagai barang bukti. Dalam surat itu, bupati tampaknya menyadari bahwa jika tidak membayar gaji aparatur gampong, maka roda pemerintahan akan berhenti. “Apabila honororium dimaksud tidak dibayar, dikhawatirkan tidak akan berjalan roda pemerintahan gampong dan melemahnya pembinaan keagamaan. Tentu saja akan berdampak pada kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Aceh Utara, khususnya dan Pemerintah Aceh umumnya,” tulis bupati dalam surat itu. Surat itu ditembuskan ke Ketua DPRA, Ketua Bappeda Aceh, Kepala DPKKA Aceh, Ketua DPRK Aceh Utara, Kepala Bappeda Aceh Utara, dan Ketua DPKKD Aceh Utara.

“Mengemis” anggaran bukan kali pertama dilakukan oleh Pemerintah Aceh Utara. Tahun 2010, Pemerintah Aceh juga membantu sebesar Rp 21 miliar dana untuk gaji keuchik di Aceh Utara. Pertanyaannya, sampai kapan harus menjadi “pengemis” anggaran ke Provinsi Aceh? Bukan kah ini akan memicu kecemburuan dari daerah lainnya, yang juga belum sejahtera? Lihatlah Aceh Tenggara, Nagan Raya, Subulussalam, Gayo Lues, daerah pinggiran itu juga mengalami krisis keuangan. Pembangunan juga belum merata, jalan kupak-kapik dan berlumpur menjadi pemandangan jika melintasi kawasan itu.

Kritikan pun dilontarkan. Aktivis antikorupsi menyebutkan, sangat tidak adil jika provinsi terus-menerus memberikan dana pada Aceh Utara. “Tahun 2010 sudah dibantu keuangan Aceh Utara. Tahun 2011 dibantu lagi, ini akan menyakiti rasa keadilan daerah lainnya. Kami menolak, bila provinsi memberikan bantuan lagi di tahun 2011,” sebut Koordinator Badan Pekerja, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian, kepada Kontras.

Alfian menilai, jika Provinsi Aceh terus menerus memberikan bantuan uang, maka Aceh Utara akan menjadi kabupaten yang manja. “Tanpa mau berupaya keluar dari krisis keuangannya. Selama ini belum ada langkah konkrit untuk menambah pondasi pendapatan Aceh Utara,” terang Alfian.

Menurut data yang dimilik MaTA, Aceh Utara terpaksa “berutang” sebesar Rp 450 miliar. Jumlah itu untuk menutupi belanja aparatur di kabupaten itu. “Kalau untuk belanja publik memang sudah tidak ada. Jika pun uang Rp 181 miliar dari sitaan kasus bobol kas Aceh Utara berhasil diambil kembali, Aceh Utara tetap krisis. Tetap kiamat,” terang Alfian.

Kritikan lainnya datang dari anggota DPRA, Hj Nuraini Maida, ketika berkunjung ke kabupaten itu baru-baru ini. “Intinya kita sepakat untuk membantu Aceh Utara. Namun, perlu dilakukan terobosan andal, untuk mengatasi krisis keuangan yang berkepanjangan ini. Karena tidak mungkin selamanya disubsidi dari provinsi,” sebut politisi Partai Golkar itu.

Mantan anggota DPRK Aceh Utara ini menyebutkan, ketika Aceh Utara meminta suntikan dana ke Provinsi Aceh, banyak anggota DPRA juga tidak setuju memplotkan anggaran itu. “Namun, kita ingatlah jasa Aceh Utara. Saya ibaratkan, Aceh Utara ini seperti sapi betina, yang dulu gemuk, dan susunya diperas terus-menerus. Hasil susu itu diberikan juga ke daerah lain, saatnya membalas jasa Aceh Utara. Namun, sampai kapan ini harus berakhir. Ini yang patut dicarikan solusinya oleh Pemerintah Aceh Utara sendiri,” tegas Nuraidi Maida.

Wakil Gubernur Aceh Muhammad Nazar ketika berkunjung ke Lhokseumawe juga mengingatkan Aceh Utara agar segera melakukan terobosan untuk mengakhiri krisis keuangan itu. “Jangan sampai disubsidi terus menerus. Daerah lainnya juga harus mengelola keuangan dengan baik. Jangan sampai terjadi krisis keuangan, terjadi di daerah lain. Cukup Aceh Utara saja,” sindir Wagub.

Solusi pertanian
Sementara itu, Ketua Asosiasi Keuchik Aceh Utara (Asgara), Muksalmina, kemarin, menyebutkan mendukung langkah Aceh Utara untuk meminta uang pada Pemerintah Aceh. “Itu hanya bisa dilakukan untuk sementara waktu. Harus ada langkah konkrit untuk meningkatkan pendapatan rakyat dan pendapatan daerah,” sebut Muksalmina.

Pria berkacamata ini menyebutkan, Aceh Utara harus menggenjot sektor pertanian untuk menambah angka pendapatan petani. “Misalnya, digenjot sektor sawit, coklat, dan karet. Disiapkan saja harga yang pantas atau dibuka pasar untuk petani. Gorontalo sukses mengekspor jagung ke Korea. Dari situ, PAD Gurontalo luar biasa, ini yang perlu dicontoh. Dan kami sebagai warga masyarakat dan petani sangat berharap ini,” ungkap Muksalmina.

Dia menyebutkan, perhatian dari Pemerintah Aceh Utara terhadap aparatur gampong terbilang minim. Ketika kabupaten itu masih kaya gaji keuchik tidak pernah dibayar tepat waktu. Umumnya dirapel per tiga bulan, bahkan pernah dibayar per enam sampai delapan bulan. “Waktu daerah ini kaya, gaji keuchik juga tidak mahal. Sekarang, sudah lumayan mahal Rp 700.000 per bulan. Harapan kami, dibangkitkan dulu sektor pertanian, untuk menutupi kekurangan uang daerah ini,” harap Muksalmina.

Terkait wacana penghapusan 320 desa di Aceh Utara sebagai langkah menghemat anggaran, Muksalmina menyatakan pihaknya sangat tidak setuju. “Kami tawarkan solusi lain, perkecil jumlah aparatur gampong, tanpa menghapus gampong itu sendiri. Misalnya sekarang satu desa ada empat keplor, dijadikan dua keplor saja,” saran Muksalmina.

Lebih jauh agar gaji keuchik merata di Aceh, perlu dibuat qanun tentang gaji keuchik. “Seluruh keuchik di Aceh gajinya disamakan saja. Misalnya, gajinya sesuai upah minimum provinsi (UMP) sebesar Rp 1,3 juta per bulan. Ini merata seluruh Aceh,” harapnya. Pemerataan besaran gaji itu, sebagai upaya untuk meningkatkan kinerja aparatur gampong, dan provinsi bisa membantu sharing dana untuk semua daerah, bukan hanya Aceh Utara saja. “Daerah lain juga mengalami krisis keuangan. Nah, kalau polanya seperti ini, yang dibantu semua daerah kan,” ujarnya.

Belanja Pas-Pasan

Kepala Dinas Pengelolaan, Keuangan, dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, Zulkifli tidak berhasil dikonfirmasi. Ketika didatangi ke kantornya, di lantai 2, kompleks Kantor Bupati Aceh Utara, Zulkifli tidak berada di tempat. Stafnya menyebutkan, akhir-akhir ini kepala dinas itu memang jarang masuk kantor. Dua nomor handphone yang digunakan Zulkifli pun tidak aktif. Pesan singkat yang dikirimkan Kontras, untuk meminta keterangan lengkap soal kebijakan anggaran di Aceh Utara, hingga deadline tidak dijawab oleh Zulkifli.

Sementara itu, Kapala Bidang Pengelolaan Anggaran, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPPKD) Aceh Utara, Nasir AW, yang dihubungi terpisah mengakui pihaknya telah mengusulkan agar Provinsi Aceh membantu anggaran di Aceh Utara. “Kita sudah minta Rp 52 miliar lebih. Tidak tahu, berapa angka yang akan dibantu oleh provinsi,” sebut Nasir AW.

Mengapa memilih angka Rp 52 miliar lebih? “Karena, tahun 2004 kita masukkan honor tengku dayah, dan balai pengajian. Kan, tidak mungkin kita hapuskan. Bisa menimbulkan konflik besar nanti,” ujar Nasir.

Dia menyebutkan, jumlah pegawai sebanyak 12.000 orang lebih, menyedot hampir seluruh anggaran daerah. Jumlah pegawai yang diterima tidak sebanding dengan jumlah pegawai yang pensiun. Plus, pegawai honor yang menambah beban pengeluaran daerah. Nasir menyontohkan, pada tahun 2008 saja pegawai yang diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS) baik itu formasi umum dan honorer mencapai 2.000 orang. Padahal, jumlah PNS yang pensiun hanya sekitar 50 orang.

Saat didesak untuk menyebutkan angka pasti APBK Aceh Utara tahun 2011, Nasir enggan menyebutkannya. “Saya lupa. Sekitar 700-800 miliar. Uang sejumlah itu kita tujukan hanya untuk kebutuhan dasar saja. Belum ke arah pembangunan. Sehingga, tidak defisit. Namun, tidak ada pembangunan yang luar biasa,” sebut Nasir.

Hal senada diakui oleh Ketua Panitia Anggaran DPRK Aceh Utara, Khaidir Abdurahman. Politisi Partai Aceh ini menyebutkan, tahun 2011 pihaknya sepakat untuk membelanjakan uang daerah pas-pasan. “Sesuai kebutuhan dasar saja. Kita sepakat untuk memplot anggaran pada kebutuhan yang mendesak,” sebut Ketua Komisi C, bidang anggaran DPRK Aceh Utara ini.

Langkah lain yang diambil oleh DPRK dan Bupati Aceh Utara adalah menyetop penerimaan PNS. Informasi yang dihimpun, menyebutkan, bupati dan kalangan legislatif telah sepakat dua sampai tiga tahun ke depan tidak akan menerima PNS di kabupaten itu.

Saat ditanyakan hal ini pada Khaidir, dia enggan menjawab. Terkait suntikan dana sebesar Rp 21 miliar dari Pemerintah Aceh tahun 2010, Khaidir membenarkan. Sabtu, 4 September 2010, uang sebesar Rp 21 miliar itu sudah masuk ke kas daerah Aceh Utara. “Untuk gaji keuchik tahun ini sudah aman. Jadi, kita harap keuchik tidak khawatir lagi,” sebutnya.

Sedangkan untuk tahun 2011, masih menunggu jawaban dari DPRA dan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Khaidir menyebutkan, pihaknya mendesak agar DPKKD Aceh Utara memaksimalkan sektor PAD. Misalnya, sektor galian C, penangkaran burung walet. “Memang tidak maksimal. Tapi, paling tidak ini membantu krisis keuangan,” ujar Khaidir.

Selain itu, Khaidir menyebutkan DPRK Aceh Utara dan Pemerintah Aceh Utara bersama daerah lainnya di Aceh bersepakat untuk mendorong agar qanun pengelolaan dana otonomi khusus diubah. Sehingga, dana ratusan miliar tidak lagi menumpuk di Provinsi Aceh, tapi bisa langsung ke daerah.

“Sehingga, keuangan pemerintah daerah juga bisa terbantu. Pembangunan bisa berjalan maksimal. Kalau sekarang ini, seluruh dana Migas dan Otsus terkonsentrasi di provinsi, sehingga puluhan miliar setiap tahunnya harus dikembalikan ke pemerintah pusat, karena tidak habis digunakan,” ujar Khaidir. Dia berharap, agar perlahan namun pasti, kerja sama eksekutif dan legislatif bisa mengakhiri krisis keuangan di Aceh Utara ini.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 558 | Tahun XII 9 - 15 September 2010

01.58 | Posted in , , | Read More »

Meluruskan Kiblat Pembangunan Aceh Utara



Masriadi Sambo - KONTRAS
Kiblat pembangunan Aceh Utara semakin tidak jelas. Ini akibat efek getar bobol kas Aceh Utara sebesar Rp 220 miliar, dan kasus ini sedang diselidiki Polda Aceh. Sebagian terdakwa telah dijebloskan ke penjara. Lalu, bagaimana meluruskan pembangunan di daerah yang pernah menduduki nomor urut dua terkaya di Indonesia itu?

ARAH pembangunan Kabupaten Aceh Utara semakin kacau. Kondisi itu terjadi pascabobolnya kas daerah Rp 220 miliar di Bank Mandiri Jelambar. Kehilangan uang kas sebesar itu tentu membuat pemerintah setempat kelimpungan. Ditambah lagi kemampuan melobi pusat dan investor untuk menanamkan modal ke kabupaten yang pernah menduduki nomor urut kedua terkaya di Indonesia itu. Pepatah menyebutkan, orang kaya jatuh miskin, akan sulit menerima kenyataan.

Itulah yang dialami masyarakat Aceh Utara dan pemerintahnya saat ini. Publik kabupaten itu menganggap pemerintahnya gatot alias gagal total. Krisis keuangan di daerah itu tak bisa dibiarkan terlalu lama. Jika dibiarkan, maka “kiamat” kecil akan dirasakan masyarakat Aceh Utara. Efek belum kembalinya uang kas Aceh Utara itu ke kas daerah mengakibatkan sejumlah proyek yang telah ditenderkan tidak bisa dijalankan. Informasi yang dihimpun Kontras, tender itu terpaksa ditunda pengerjaannya. Pasalnya, tidak ada uang untuk mengerjakan proyek itu.

Kepala dinas, badan dan kantor di Aceh Utara umumnya memilih jalur aman. Jika melanjutkan proses tender, mereka khawatir akan dikejar-kejar rekanan yang telah mengerjakan proyek. Selain itu, sebanyak 195 buruh angkut sampah tidak mendapatkan hak mereka seperti tahun lalu. Gaji mereka dikurangi Rp 5.000 per hari per orang. Bukan hanya itu, gaji keuchik pun hingga kini belum dibayarkan. Sedikitnya 1.704 pimpinan gampong yang terdiri atas keuchik dan sekretaris desa (sekdes) beserta 2.556 kaur dari 852 gampong di Kabupaten Aceh Utara.

Jerih keuchik Rp 700.000 per bulan, Sekdes Rp 500.000 per bulan, dan kaur Rp 250.000 per bulan biasanya dibayar tiga bulan sekali. Bukan hanya itu, uang meugang untuk 12.500 pegawai negeri sipil (PNS), termasuk tenaga honorer di berbagai kantor Pemkab Aceh Utara, juga ditiadakan. Biasanya, para PNS, termasuk tenaga honorer, tiap kali makmeugang selalu mendapat uang daging sebesar Rp 200.000-Rp 800.000.

Alokasi dana gampong (ADG) tahap II tahun 2009, Rp 25 juta per desa, juga belum jelas kapan akan dibayar. Ketua Asosiasi Keuchik Aceh Utara (Asgara) Muksalmina, menyebutkan, pihaknya sangat berharap agar dana itu segera dibayarkan oleh Pemkab Aceh Utara. Namun, hingga kini belum ada kejelasan sumber dana untuk ADG tersebut.

Sampai saat ini, Aceh Utara masih kelimpungan mencari pendanaan. Sejumlah PNS, tenaga honorer, jarang terlihat masuk kantor. Kantor pun sepi. Tidak ada aktivitas untuk melayani masyarakat secara maksimal.

Bupati harus mundur
Koordinator Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Alfian, menyebutkan, untuk mengatasi krisis keuangan di Aceh Utara secepat mungkin Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, dan Wakil Bupati Aceh Utara, Syarifuddin SE, mengundurkan diri dari tampuk pimpinan daerah itu.

Solusi lainnya, sebut Alfian, Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara dan Panitia Anggaran DPRK Aceh Utara secepatnya harus duduk bersama membahas potensi untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD). “Saat ini, yang kita tahu PAD Aceh Utara hanya Rp 38 miliar. Daerah sebesar Aceh Utara ini tidak mungkin PAD hanya begitu. Artinya, ada kebocoran pada level pengutipan PAD,” sebut Alfian.

Dia menyebutkan, kebocoran ini harus ditindak tegas. Siapa pun yang mengambil uang PAD itu harus dijebloskan ke penjara. Terkait adanya kebocoran PAD, kepala bidang PAD, di DPKKD Aceh Utara, Khatijah baru-baru ini di depan sidang paripurna DPRK Aceh Utara mengakui hal itu. Dia menyebutkan, perlu ditertibkan kebocoran-kebocoran PAD yang dipungut sejumlah dinas tertentu. “Perlu ditertibkan pungutannya. Misalnya, dinas A, memungut sektor A, tim dinas itu harus ditertibkan, agar tidak bocor lagi,” sebut Khatijah.

Motivasi pegawai
Alfian menyebutkan, kondisi Bupati dan Wakil Bupati yang tersangkut dalam kasus Rp 220 miliar itu berpengaruh pada motivasi kerja para pegawai. Saat ini, sebutnya, sejumlah pegawai hanya datang, duduk, dan pulang.

Tidak ada tunjangan prestasi kerja lagi untuk para pegawai di daerah tersebut. Sejumlah pegawai negeri sipil (PNS) yang ditemui Kontras, mengaku memang tidak semangat untuk bekerja. “Mana ada semangat, saya punya anak enam orang. Gaji sudah dipotong oleh bank, karena saya ambil kredit. TPK sudah dipangkas habis, saya terpaksa mencari pendapatan lain,” sebut salah seorang PNS. PNS lainnya menyebutkan hal yang sama. Dia menyebutkan, gajinya sudah habis dipotong oleh bank. “Tidak ada gaji lagi. Sekarang saya harus nyambi menjadi agen sepeda motor. Jual sepeda motor, bisa dapat untung sedikit,” ujarnya lirih.

Solusi penyelamatan

Hal senada disebutkan Direktur Klinik Konsultasi Bisnis (KKB) Finansial Aceh di Lhokseumawe, Halidi MM. Dia menyebutkan, Aceh Utara harus pandai melakukan efektifitas dan efisiensi penggunaan anggaran. Misalnya, memangkas anggaran yang tidak terlalu penting seperti biaya operasional SKPK, pembelian kertas, mobil dan lain sebagainya.

Selain itu, menyetop penerimaan pegawai negeri sipil (PNS) untuk tahun 2010 ini. “Kecuali yang diterima khusus tenaga teknis yang sangat dibutuhkan, misalnya guru untuk SMK. Dokter spesialis tertentu, dan lain sebagainya,” sebut Halidi. Halidi menguraikan tahun 1997, ketika Bireuen dan Lhokseumawe masih bergabung ke Aceh Utara, jumlah pegawai hanya 7.000 orang. Kini, jumlahnya mencapai 13.000 pegawai. Angka yang luar biasa untuk melayani 852 gampong.

Halidi menawarkan enam solusi untuk efisiensi anggaran di Aceh Utara. “Solusi pertama menunda sebagian kegiatan yang telah disahkan dalam APBK 2010 kemarin. Dianalisis, mana yang bisa ditunda, mana yang tidak,” tegas Halidi. Selain itu, dia menawarkan agar sebagian aset Aceh Utara dijual atau menjaminkan aset tersebut untuk mendapatkan suntikan dana dari perbankan. “Pinjam uang ke bank tidak masalah. Manajemennya harus profesional, layaknya perusahaan yang profesional,” terang Halidi.

Dia juga menyarankan, agar menunda pembayaran proyek multiyears. “Langkah yang sudah tepat yang diambil Aceh Utara saat ini adalah meminta bantuan dana dari provinsi. Misalnya, dana gaji keuchik itu yang sudah dianggarkan di APBA. Ini langkah sudah benar,” terang Halidi.

Halidi bahkan menyarankan hal paling ekstrem, yakni meminta sumbangan pada masyarakat. “Jika memang berani, pemerintah bisa meminta sumbangan dari masyarakat untuk melakukan pembangunan tersebut. Namun, ini jalan paling akhir dan sudah buntu,” sebut Halidi.

Untuk menghemat anggaran, Pemkab Aceh Utara juga bisa mengambil langkah melakukan regrouping (penggabungan) desa. Saat ini tercatat desa di kabupaten itu mencapai 852 desa. Padahal, masih sangat banyak desa yang tidak layak disebut sebagai desa. Idealnya, satu desa harus memiliki penduduk 1.000 jiwa atau 200 kepala keluarga.

“Saya pikir, sekitar 400 desa bisa digabungkan dengan desa lainnya. Artinya, ini sudah menghemat uang sebesar Rp 2 miliar untuk biaya alokasi dana gampong (ADG). Karena, jika ADG tidak disediakan oleh pemerintah kabupaten, maka dana BKPG juga tidak bisa diberikan oleh provinsi,” sebut Halidi.

Bukan hanya itu, honor keuchik pun bisa dihemat. Memang akan mendapatkan penolakan, namun, ini langkah yang harus diambil. “Pemimpin harus berani mengambil langkah ini. Jika mau melakukan penghematan,” sebut Halidi. Informasi lain yang dihimpun, dari kalangan DPRK Aceh Utara menyebutkan, kalangan DPRK Aceh Utara telah duduk dengan Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah (DPKKD) Aceh Utara, bulan lalu. Hasilnya, diketahui baru 20 persen dari Rp 38 miliar target PAD yang dihimpun oleh dinas tersebut.

Sementara itu, salah seorang panitia anggaran DPRK Aceh Utara, Zulfadli Abdul Thaleb, menyebutkan, sejauh ini pihaknya juga sedang memikirkan formulasi untuk menggenjot PAD Aceh Utara.

“Kita sedang berupaya menyusun langkah strategis untuk meningkatkan PAD. Sektor apa yang bisa kita tingkatkan, ini sedang kita kaji secara mendalam. Ini nantinya, akan dituangkan dalam qanun PAD, yang sedang dibahas,” sebut Zulfadli. Dia menyebutkan, sektor PAD yang akan digenjot diupayakan tidak akan memberatkan ekonomi masyarakat. “Janganlah masyarakat lagi kita bebankan. Misalnya begini, kalau tarif parkir kita naikkan, ini tidak bijak. Memberatkan masyarakat. Makanya, kita kaji secara serius untuk menghasilkan PAD yang bagus, dan tidak memberatkan masyarakat,” terang Zulfadli.

Politisi Partai SIRA ini juga meminta agar kelompok sipil memberikan masukan konkret, sektor PAD apa saja yang bisa ditingkatkan, namun tidak memberatkan masyarakat. “Kita terima dengan lapang dada masukan elemen sipil. Jangan sampai nanti, kebijakan yang dikeluarkan daerah, menjepit rakyat. Rakyat sudah susah, dijepit dengan aturan-aturan baru yang kita keluarkan. Ini tidak bagus,” terangnya.

Panitia anggaran, sebut Zulfadli, juga sangat serius mengupayakan sumber dana lain, seperti meminta pada Gubernur dan DPR Aceh untuk membantu pendanaan gaji keuchik dan aparatur gampong. “Kita juga mengupayakan pendanaan lain. Sehingga, kita harap, dengan begitu, pembangunan terus berjalan. Ya, meski pun agak lamban,” pungkas Zulfadli.

Respons bupati

Sementara itu, Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, baru-baru ini meminta masyarakat untuk mengerti tentang kondisi keuangan Aceh Utara. “Khusus untuk pegawai, sebagai anak yang baik, tentu dia akan mengerti kondisi keuangan orangtuanya. Harap bersabar, jika kemampuan keuangan daerah memadai, pasti akan diberikan fasilitas lebih juga pada PNS,” sebut Ilyas.

Terkait upaya konkrit yang dilakukan, Ilyas menyebutkan pihaknya sedang mencari sumber pendanaan lainnya, seperti meminta bantuan Provinsi Aceh. “Kita sedang cari sumber pendanaan lain yang sah,” sebut Ilyas. Saat disinggung tentang uang Rp 220 miliar itu, Ilyas tidak mau menjawab. “Kalau persoalan itu, saya no comment. Tanyakan ke pengacara saya,” pungkas Ilyas A Hamid singkat.

--
Tabloid KONTRAS Nomor : 556 | Tahun XII 26 Agustus - 1 September 2010

03.42 | Posted in , , | Read More »

Blog Archive

Recently Commented

Recently Added