|
BERSAMA SYAIFUL |
HARI itu, Selasa, 26 Februari 2013 handphone saya menjerit
keras. Jam menunjukkan pukul 21.00 WIB. Warga yang menelpon itu mengabarkan
bahwa sebanyak 127 warga Rohingnya terdampar di perairan Desa Cot Trueng,
Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara.
Aku,
Zaki Mubarak dan Jafaruddin Yusuf masih duduk di kantor malam itu. Kami baru
saja berencana pulang ke rumah masing-masing. Lalu, aku, Jafar dan Zaki menelpon
beberapa warga dan polisi untuk memastikan bahwa informasi tentang warga
Rohingnya itu benar.
Sejurus
kemudian, kami berangkat ke lokasi, menggunakan mobil pick up milik Serambi Indonesia. Ismujohan duduk dibalik kemudikan. Mobil meluncur
pelan. Kami tiba di lokasi 30 menit kemudian.
Ratusan
warga berdesakan di sekitar tempat penampungan sementara warga Rohingnya. Berdesakan
ingin melihat wajah-wajah letih, lesu dan kumal. Aku menerobos masuk. Bertemu
dengan beberapa polisi, TNI, dan camat di lokasi itu. Satu dari 127 korban
perang itu bisa berbahasa melayu dengan baik. Syaiful Alam (25) namanya.
Pria
berkulit gelap, berbadan kurus ini pernah menetap enam tahun di Malaysia. Sehingga dia bisa berbahasa Melayu dengan baik.
Syaiful menceritakan perahu berukuran 8 x 15 meter mereka tumpangi kehabisan
bahan bakar dan terombang-ambing di laut lepas. Mereka berangkat dari Myanmar menuju Thailand 18 hari lalu. Tujuh hari terakhir perbekalan mereka
habis. Mereka pun terpaksa menahan lapar, hanya minum air laut.
Penderitaan
sebagai warga terbuang dan tak diakui negaranya belum berakhir. Setiba di
perairan Thailand, angkatan laut negara tersebut menembaki kapal
mereka. 12 orang tewas. Dua diantaranya hingga kini mengalami luka
tembak pada bagian kaki dan mata. Praktis kini jumlah mereka hanya 113 orang.
“Empat
abang kandung saya tewas di tembak tentara Myanmar,” sebut Syaiful. Matanya tak kuasa menahan bulingan
bening menetes. Teman-teman Syaiful tak bisa bahasa
Inggris, Melayu atau Cina. Mereka hanya bisa berbahasa. Setiap kali kutanya,
hanya ditajawab “Rohingnya muslim.”
Saat
berbincang dengan Syaiful. Zaki—fotografer senior—mengabadikan momen itu.
Syaiful pun mengungkapkan kepiluannya. Tak mungkin bertahan di negeri yang
dilanda perang berkepanjangan.
Sejak
tahun 2011 lalu sampai kini sudah beberapa kali gelombang “manusia perahu” ini
singgah ke Aceh. Mereka pernah terdampar di Sabang, Aceh Utara, dan Aceh Besar.
“Saya
membawa tiga anak laki-laki. Saya ingin menetap di Malaysia. Di sana lebih aman, dan bisa mencari rezeki,” sebut
Syaiful.
Tidak
banyak yang bisa kutanyakan pada Syaiful. Mereka harus segera makan dan
mendapatkan obat dari petugas medis. Pakaian kumal diganti dengan pakaian layak
pakai sumbangan warga setempat.
Puluhan
ibu-ibu sibuk memasak ikan, nasi dan sayuran seadanya. Semuanya dihidangkan
buat tamu sesama muslim.
“Sayang teuh takaleun awaknya. Haroh tabantu.
Nyoe engkot sedekah lon. (Sayang melihat mereka. Harus kita bantu. Ini ikan
sedekah saya),” sebut seorang warga sambil menurunkan ikan tongkol seberat 50
kilogram.
Bantuan
warga lainnya pun berdatangan. Ada yang memberikan roti, kue basah, kopi, dan makanan
lainnya. Malam merambat pelan menuju pagi. Sekitar pukul 23.00 WIB, kami pulang
ke kantor. Menuliskan liputan itu untuk pembaca esok pagi.
Syaiful
dan rekan-rekannya mungkin tertidur lelap. Melepas penat. Menjemput impian ke
tanah harapan. Ingin hidup, melanjutkan keturunan di negeri beradab. Entah negeri
mana yang akan menerima mereka. Entahlah? (masriadi
sambo)