Usai Perang
HARI ini, genap lima tahun, perang berhenti menyalak. Dentuman meriam, dan desingan mesiu tak terdengar lagi. Lima tahun, sudah kehidupan berjalan normal. Tak perlu takut jika keluar rumah malam hari.
Dulu, lima tahun lalu, setiap malam, derap kaki serdadu melewati depan rumah. Sesekali sandal usang gerilyawan menyapa kami. Meminta sesuap nasi, atau sejumlah uang. Bahkan, ada pula yang meminta ayam, untuk di bawa ke hutan. Ya, persediaan makanan, jika serdadu mengepung rimba Tuhan.
Sesekali perang tak bisa dielakkan. Kerap kali, serdadu menyapu gerilyawan. Darah berceceran. Gerilyawan tunggang-langgang ke seluruh penjuru mata angin. Memasang perangkap, agar serdadu tewas dalam jebakan. Trik perang memang unik. Semuanya sah, demi sebuah kata menang.
Seluruh fasilitas umum di bumihanguskan. Sekolah dibakar, jembatan dipotong, Puskesmas dibom. Semua menjadi debu. Anak-anak tak bisa sekolah dengan baik. Guru-guru ketakutan saban waktu. Nyawa diujung tanduk. Semua orang bisa mati dalam hitungan detik. Gelombang pengungsi pun tak bisa dihindarkan. Penduduk angkat koper untuk menuju kota. Merantau. Tak sanggup hidup diantara bau mesiu.
Namun, sejak kedua belah pihak sepakat berdamai, tak ada lagi ketakutan. Semuanya berjalan normal. Petani bisa ke ladang, menanam padi, tomat, kangkung, cabai dan lainnya. Nelayan tiap malam bisa ke laut, menangkap berbagai jenis ikan. Pedagang tak perlu risau berjualan hingga larut malam.
Semua itu sungguh nikmat. Bagi rakyat, itu sebuah anugerah dari Allah. Perang berakhir, senyum mengembang. Namun, kini muncul elit-elit baru. Masyarakat menyebutnya, orang kaya mendadak (OKM).
OKM ini hidup berlimpah. Bahkan, mulai menunjukkan arogansi pada orang kampung. Memonopoli harga karet dan coklat. Mereka membeli dengan harga rendah. Jika ingin selamat, ya silahkan menjual ke OKM ini. Jika tidak, maka urusan jadi panjang. Nyawa menjadi taruhannya.
Lakon itu terjadi menyeluruh. Mereka mengklaim kekayaan alam ini milik negara, dan mereka adalah mantan pejuang negara. Dulu, mereka berusasah-susah di hutan, kini, saatnya menikmati. Prinsip itu yang melekat di kepala mereka.
Tidak ada ruang diskusi dengan kalangan OKM ini. Pendapatan mereka seperti fatwa dari ulama, yang jika dibantah akan “berdosa”. Jika dijalankan akan mendapatkan pahala. Ini yang aneh.
Kesombongan kalangan OKM semakin “menggila” ketika mereka memenangkan pemilihan umum di negeri ini. Mereka menang di sejumlah kabupaten, dan kota. Menang mutlak.
Sejak saat itu, mulai lah mereka menguasai negeri ini. Menjalankan pemerintahan. Tahun pertama tak ada masalah. Tahun kedua, satu persatu masalah muncul. Ada yang terjerat konflik internal antara bupati dengan wakil bupati. Konflik antar wali kota dengan wakil wali kota.
Ada pula yang meminta, agar uang operasionalnya tidak diaudit oleh aparat hukum negara. Permintaannya aneh-aneh. Mereka ingin hidup ekslusif, menghabiskan uang negara.
Salah satu bupati, bahkan terjerat kasus dugaan korupsi. Mulai diperiksa oleh aparat hukum negeri ini. Tidak ada yang berjalan mulus. Mereka terkesan orang yang tak faham pada pemerintahannya.
Tak faham keinginan rakyatnya. Merancang pembangunan, seperti merancang istana di atas pasir. Pasti akan rubuh. Tidak memiliki fondasi yang kuat. Konsep pembangunan hanya untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya.
Saban Sabtu dan Minggu, kelompok OKM ini keluar negeri. Menghabiskan uang di negeri tetangga. Sehingga, uang yang beredar di negeri ini hanya sekali. Tidak pernah berputar tiga kali. Selebihnya beredar di negeri tetangga.
Ini pula membuat masyarakat miskin, termasuk di kampungku. Nyak Cut salah seorang kelompok pejuang bahkan tidak mendapatkan bantuan apa pun. Ayahnya, Mertuanya, Suaminya dan Nyak Cut sendiri adalah kaum pejuang. Mereka tidak diperdulikan oleh OKM.
Sehari-hari Nyak Cut hanya bisa mengurut dada. Teman seangkatan telah memiliki rumah bertingkat, mobil keluaran terbaru dan uang melimpah. Sedangkan Nyak Cut masih bertahan di bawah pohon waru. Gubuk reot dan tanpa lampu listrik.
Cut Nyak tak sendiri. Ratusan orang mengalami nasib yang sama. Pilu, sedih, dan tak ada yang perduli. Sehari-hari mereka hanya bekerja sebagai petani biasa. Tak ada pemberian modal usaha.
Padahal, ketika perang, mereka adalah pasukan terdepan. Maju menggempur musuh. Memasang perangkap dan menghadang gempuran lawan. Mereka umpan senapan.
Kini mereka terlupakan dalam kemiskinan. Sesekali mereka berkumpul. Berkeluh kesah. Apa yang akan dilakukan. Dulu, perjuangan dimaknai untuk melepaskan diri dari negeri induk. Kini, perjuangan dimaknai untuk melanjutkan hidup. Mencari sesuap nasi saban hari. Untuk bertahan hidup. Tak lebih dari itu.
Namun, Cut Nyak sadar benar, bahwa itu bukan pilihan. Satu hari di bulan Juli, dia pun mengumpulkan temannya. Lalu, bersepakat kembali bergerak dengan cara mereka sendiri. Mengembangkan usaha untuk saling berbagi. Tujuan mulia, mensejahterakan sesama.
Lain lagi cerita Apa Don. Dulu, ketika perang menyalak, dia salah satu korban. Kakinya terpaksa diamputasi. Saat itu dia memasang bom mobil di simpang tiga salah satu desa pedalaman. Celaka, bom itu terlalu cepat meledak. Dia menjadi korban, sedangkan serdadu belum lewat. Serdadu mengalihkan perjalanan. Namun, bom terlanjur meledak. Ya, dia korban perang.
Kini, dia tak bisa berjalan normal. Hanya menggunakan satu tongkat tua, yang dibuat dari pohon jati oleh mertuanya. Sesekali mertuanya mencibir, bahwa dia pejuang yang tak pernah diopen. Dilupakan oleh sesama pejuang, terlebih oleh pemimpin yang kini hidup sejahtera, harta melimpah plus mobil mewah.
Apa Don tak sendiri. Ratusan rakyat negeri ini mengalami nasib yang sama. Dia pun berpikir, hidup terus berlanjut. Doktrin perjuangan masih melekat. Namun, apalah gunanya doktrin usang sebuah perjuangan. Sedangkan, hasil dari perjuangan itu sendiri tak bisa dinikmati.
Apa Don pun mulai mengumpulkan bekas pasukannya. Sesekali mereka duduk minum secangkir kopi. Tidak bisa bayar tunai, terpaksa mengutang dan melunasi uang kopi itu sebulan kemudian.
Apa Don pun mulai mengumpulkan kekuatan. Tujuannya melawan penindasan dan keangkuan teman-temannya. Siapa pun itu, baik mantan pimpinannya sendiri. Apa Don dan kelompoknya kembali mengumpulkan baja, membubut dan merakit senjata.
“Ini tujuan mulia. Kita harus tindak tegas siapa pun yang menyakiti hati rakyat, termasuk mantan pemimpin kita,” kata Apa Don pada sejumlah pasukannya. Mereka pun mendeklarasikan diri. Kelompok kecil yang lahir usai perang. [Cerpen >Masriadi Sambo]
Lhokseumawe, 15 Agustus 2010