Sektor Mikro Perlu Perhatian
PAGI itu, 7 Agustus 2009. Suasana di Desa Teupin Punti, Kecamatan Syamtalira Aron, Kabupaten Aceh Utara terlihat sepi. Desa ini dikenal sebagai desa pengrajin peci Aceh. Seluruh pengrajin sibuk di lokasi usahanya masing-masing. Deru mesin jahit terdengar bising. Mereka sibuk memperhatikan kain, membuat ukuran, dan menjahit motif. Seluruh motif khas Aceh. Dari motif rencong, kopiah meuketop, sampai ke pinto Aceh.
Seorang pemuda, Iwan Sunarya, duduk dibelakang mesin jahit elektrik. Mesin itu dibantu oleh salah satu NGO asing yang bekerja membantu pemulihan ekonomi Aceh paska konflik dan tsunami. Dia serius menjahit peci. Matanya teliti. Sejurus dia terdiam. Memperhatikan motif peci, lalu melanjutkan jahitannya.
Iwan mengaku, sejauh ini belum mendapatkan bantuan dari Pemerintah Aceh Utara. Padahal, untuk mendukung sektor kerajinan khas Aceh, Iwan membutuhkan bantuan mesin lebih banyak. Dia mempekerjakan, 12 tenaga kerja. Produksi yang dihasilkan, rata-rata mencapai 100 peci per hari. Itu pun tergantung aliran listrik ke desa itu.
“Kalau ada bantuan dari pemerintah, mungkin usaha ini bisa lebih besar lagi. Selain itu, kami harap, pemerintah mau membantu pengembangan pasar,” kata Iwan. Ruangan kerja Iwan hanya berupa kios dengan luas 5 x 10 meter. Di situ, sepuluh mesin jahit berjejer rapi. Di situlah, Iwan memproduksi ratusan peci saban hari.
Sektor lainnya yang perlu diperhatikan pemeirntah yaitu pertanian dan perikanan. Data dari Dekopinda Aceh Utara, tercatat 100.000 orang masyarakat berprofesi sebagai petani tambak. Luas tambak di Aceh Utara mencapai 28.000 hektare. Sedangkan untuk petani, sebanyak 47 persen penduduk Aceh Utara tercatat sebagai petani. Petani ini tergolong petani memiliki lahan dan petani tidak memiliki lahan, artinya meminjam lahan orang milik petani lainnya.
“Mengapa tidak sektor pertanian dan perikanan saja yang dibenahi pemerintah. Ini sehrausnya menjadi perioritas,” kata Ketua Dekopinda Aceh Utara, Baharuddin Hasan. Alokasi dana untuk kegiatan ekonomi mikro memang terbilang kecil. Lihatlah dana yang dialokasikan untuk Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) tahun 2009 hanya sebesar Rp 801 juta lebih. Dinas Perindustrian dan Perdagangan, hanya sebesar Rp 2, 3 miliyar. Badan Pemberdayaan Masyarakat hanya mengantongi Rp 7,9 miliyar. Angka itu jauh lebih kecil dibanding dinas lainnya. Lihat saja angka pada Dinas Pasar, Kebersihan, dan Pertamanan yang mendapat alokasi dana sebesar Rp 6,9 miliyar. Jauh lebih besar dibanding Dinas Koperasi dan UKM yang mendapatkan Rp 801 juta. Besaran alokasi anggaran per dinas ini tercantum dalam surat Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid, kepada seluruh SKPD tertanggal 19 Juni 2009. Surat itu menegaskan bahwa defisit anggaran APBK menyebabkan semua dinas harus diperkecil alokasi dananya. Surat itu ditujukan kepada Dinas, dan ditembuskan kepada pimpinan DPRK dan Inspektorat di Aceh
Minimnya anggaran untuk sektor mikro itu, sangat disayangkan oleh pelaku ekonomi. Baharuddin yang juga Ketua Aceh Micro Finance (AMF) Aceh meminta agar kedepan pemerintah segera memperhatikan sektor ekonomi mikro. “Dengan banyaknya sektor ekonomi mikro yang tumbuh, dengan sendirinya akan membuka lapangan kerja sendiri bagi masyarakat di Aceh Utara. Sektor ini sangat banyak, jadi patut mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah,” kata Baharuddin. Ucapan Baharuddin tampaknya tak berlebihan. Krisis ekonomi global melanda dunia, namun sektor ekonomi mikro terbukti mampu bertahan. Padahal, sektor makro tergulung derasnya arus krisis ekonomi global yang melanda seluruh dunia. Ya, kini tinggal lagi kebijakan pemerintah, memilih makro, atau mikro? Entahlah. [masriadi]
01.12 |
Posted in
ACEH BISNIS,
Feature
|
Read More »
Untung atau Buntung?
Masa kejayaan Aceh Utara telah berakhir. Sejumlah proyek vital di daerah yang dulu dijuluki “petro dollar” itu telah tutup usia. Apa tindakan Pemerintah Aceh Utara untuk mengantisipasi itu?
SEJUMLAH proyek vital di Aceh Utara resmi tidak beroperasi lagi. PT Asean Aceh Fertilizer, PT Humpus Aromatic, telah lebih dulu memutuskan tidak lagi beroperasi di Aceh Utara. Terakhir, PT Kertas Kraf Aceh (KKA)juga memutuskan untuk tidak beroperasi. Bahkan, awal Agustus lalu, badan usaha milik negara (BUMN) itu sudah merumahkan karyawannya. Kini, hanya PT Pupuk Iskandar Muda (PIM), dan PT Arun NGL yang beroperasi di daerah yang dulu dijuluki kawasan petro dollar itu.
Berakhirnya produksi perusahaan itu secara otomatis membuat Aceh Utara harus siap-siap dengan kebijakan baru. Ya, kebijakan untuk mempertahankan kesejahteraan masyarakat. Belajar dari beberapa unit usaha yang didirikan Pemerintah Aceh Utara, tampaknya, daerah itu lebih memilih pengembangan ekonomi makro untuk menambah sumber pendapatan asli daerah. Lihat saja, pendirian pesawat Nort Aceh Air Service (NAAS) tahun lalu, yang berakhir pada tutupnya perusahaan itu. Kini, pemerintah kembali melahirkan gagasan besar. Berpakem pada sektor ekonomi makro, yaitu mendirikan perusahaan yang mengelola minyak bumi dan gas (PD Migas). Niat itu tampaknya serius. Pasalnya, saat ini qanun untuk legalitas perusahaan daerah itu sudah masuk pada pembahasan tim panitia legislasi DPRK Aceh Utara.
Sekretaris Komisi A, bidang pemerintahan, DPRK Aceh Utara, Harry Azhar Nur, mengatakan saat ini rumusan qanun sudah sampai pada panitia legislasi. Hary sendiri sebagai wakil ketua pada panitia legislasi. “DPRK pada prinsipnya mendukung pendirian PD Migas ini. Hal ini karena, kita melihat dari sisi positifnya, yaitu bahwa jika ada PD Migas bisa memproduksi elpiji, bisa membuat SPBU. Dan, mobil pemerintah semuanya bisa mengisi pada SPBU itu,” kata politisi Partai Golkar Aceh Utara tersebut.
Hary menyebutkan, diupayakan pengesahan qanun tersebut akan dilakukan sebelum masa jabatan DPRK Aceh Utara yang menjabat saat ini berakhir. “Kita upayakan secepatnya pengesahan. Sebelum masa jabatan berakhir. Jika tidak bisa, ya mau bagaimana. Terpaksa diteruskan DPRK hasil Pemilu 2009,” terang Hary.
Pria berkacamata ini menilai bahwa teknis pelaksanaan PD Migas harus diperjelas. Misalnya, dengan membiarkan direktur utama PD Migas nantinya mengelola perusahaan tanpa mengambil uang dari APBK. “Kalau PD Migas, siapa pun nanti direkturnya harus diperjelas mekanisme kerjanya. Jangan mengambil uang APBK. Namun, mengambil sumber dana lain dari kerjasama dengan lembaga lainnya. Intinya, DPRK mendukung PD Migas ini,” tegas Harry.
Niat untuk membangun PD Migas itu juga pernah disebutkan Bupati Aceh Utara, Ilyas A Hamid. Ketika berbicara pada pekan kreatif usaha ExxonMobil, 17 Februari lalu menyebutkan pihaknya serius untuk membentuk PD Migas. PD Migas ini nantinya akan mengelola sumur bekas ExxonMobil di Aceh Utara. Hal ini, menurut Ilyas, bisa mendatangkan untung untuk pendapatan daerah. “PD Migas itu bisa mendatangkan untung untuk daerah. Sumur bekas ExxonMobil bisa dikelola oleh perusahaan daerah,” kata Ilyas pada wartawan waktu itu.
Bupati Ilyas A Hamid, menambahkan, sumber daya manusia (SDM) yang akan mengelola PD Migas itu bisa jadi bekas karyawan ExxonMobil. Sehingga, dari sisi SDM tidak dikhawatirkan lagi. Hal itu menurut Ilyas, mengantisipasi hengkangnya ExxonMobil dalam waktu dekat dari Aceh. Menurut kabar angin, kata bupati dari jalur independen ini, ExxonMobil akan meninggalkan Aceh pada tahun 2010 atau 2012 mendatang.
Elemen Sipil Menolak
Elemen sipil di Aceh Utara pun menolak rencana pendirian PD Migas tersebut. Ketua Dewan Pimpinan Koperasi Indonesia Daerah (Dekopinda) Aceh Utara, Baharuddin Hasan, menamsilkan niat pemerintah mendirikan PD Migas sama dengan cok peulaken cilet bak prut (ambil aspal panas, tempelkan di perut). Artinya, sebut Bahar, rencana itu sama dengan niat pemerintah untuk melukai dirinya sendiri. Bahar mengkritisi bahwa tidak ada SDM yang memadai untuk mengoperasikan PD Migas di Aceh Utara. “Kebijakan itu tidak populer. Kondisi sumur tua bekas ExxonMobil pasti sudah tidak produktif. Kalau produktif, mana mungkin perusahaan raksasa sebesar ExxonMobil meninggalkan sumur itu dan rela dikelola oleh pemerintah daerah,” kata Baharuddin, kepada Kontras, 10 Agustus lalu.
Dia memprediksikan kadar gas sumur itu hanya dua persen per setiap sumurnya. Krtitik tajam lainnya datang dari Lembaga anti korupsi, Masyarakat Transfaransi Aceh (MaTA). Ketua MaTA, Alfian mengkhawatirkan perusahaan daerah yang baru itu akan menyedot APBK Aceh Utara. Dia menyebutkan beberapa waktu lalu, pihaknya duduk bersama dengan LSM lainnya di Aceh Utara dan Lhokseumawe, membahas qanun PD Migas dengan panitia legislasi.
“Panitia legislasi menyebutkan bahwa perusahaan itu tidak akan mengeruk uang daerah untuk operasionalnya. Mereka katakan, bahwa operasional PD Migas akan diambil dari kerjasama dengan lembaga lainnya. Sejenis investor. Bahkan, panitia legislasi menyebutkan bahwa PD Migas Aceh Timur sudah berhasil,” kata Alfian meniru ucapan sejumlah panitia legislasi DPRK Aceh Utara, beberapa waktu lalu.
Alfian menyebutkan bahwa lembaga yang dipimpinnya telah mengkroscek PD Migas Aceh Timur, hasilnya, perusahaan migas di Aceh Timur hingga kini masih menyedot anggaran APBK Aceh Timur sebesar Rp 900 juta tahun anggaran APBK 2008-2009. “Lebih baik dibuat qanun pendidikan, kesehatan atau qanun transfaransi anggaran dibanding qanun PD Migas yang tidak banyak manfaatnya itu,” kata Alfian.
Dia menyarankan, agar rencana pendirian PD Migas itu dibubarkan saja. Jika ingin untung, disarankan pemerintah memberikan gas tua milik ExxonMobil pada perusahaan swasta saja. Jadi, pemerintah hanya mendapatkan imbal bagi hasil. “Ini lebih baik. Jelas, bagi hasil lebih untung. Tidak mengeluarkan biaya produksi dan lain sebagainya,” kata Alfian.
Dia sangat khawtir hadirnya PD Migas akan menyedot angaran dari APBK. “Nanti alasannya bisa saja modal awal, atau lainnya. Intinya, tetap mengeruk APBK untuk membelanjai PD Migas itu,” ungkapnya.
Sementara itu, ternyata di kalangan anggota DPRK Aceh Utara tidak semuanya sepakat mendukung pendirian PD Migas. Salah seorang anggota Komisi C, DPRK Aceh Utara, Muhammad Sawang yang dihubungi per telepon menyebutkan alangkah baiknya rencana pendirian PD Migas itu ditinjau kembali.
“Masih ada PD Bina Usaha yang sudah berdiri di Aceh Utara. Alangkah baiknya, bidang Migas ini bisa dibuat sub pada PD Bina Usaha. Jadi, tak usah mendirikan PD baru lagi,” kata Muhammad. Baik, Muhammad, Alfian, dan Baharuddin sepakat bahwa kinerja perusahaan daerah di Aceh Utara belum menggembirakan rakyat banyak. Perlu evaluasi kembali terhadap rencana pendirian perusahaan daerah yang baru itu. Nanti, dikhawatirkan berharap untung, malah buntung. [masriadi]
01.05 |
Posted in
ACEH BISNIS,
Feature
|
Read More »
PIM Jalan Terus, Provit Lain Tutup Buku
TAHUN-tahun sulit akan membalut Pemerintah Aceh Utara. Pasalnya, sejumlah proyek vital di Kecamatan Dewantara, telah mengakhiri masa operasinya. PT Kertas Kraf Aceh resmi menutup operasi, sejak awal tahun lalu. PT Arun, NGL akan mengakhiri produksi 2010 atau 2014 lalu, sesuai rencana operasional perusahaan itu. PT Asean Aceh Fertilizer (AAF) ditutup tahun 2005 silam. PT Humpus Aromatic, bahkan tidak beroperasi sejak didirikan tahun 1994 dan dinyatakan ditutup akhir tahun 2007 silam. Kini, hanya PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Arun yang masih beroperasi di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara.
Sekretaris Perusahaan PT PIM, Usman Mahmud, kepada Kontras, menyebutkan pasokan gas sebagai bahan baku pengolahan pupuk urea di perusahaan itu sudah ada sampai akhir tahun ini. Usman, menyebutkan kini mesin produksi PIM 1 dan PIM 2 telah dioperasikan. “Sampai akhir tahun kita akan beroperasi. Gas untuk tahun 2009 telah tersedia, delapan kargo,” terang Usman. Gas itu diberikan oleh BP Migas. Usman menyebutkan, untuk tahun 201, pihaknya juga telah mendapatkan lampu hijau dari BP Migas. “Komitmen denagn BP Migas sudah ada untuk tahun 2010.
Idealnya, untuk beroperasi secara maksimal, PIM membutuhkan 12 kargo gas. “Komitmen sudah ada. Namun, belum dipastikan kapan akan disuplai oleh BP Migas untuk tahun 2010 ini. Kami yakin, PIM akan terus beroperasi, melihat komitmen BP Migas untuk mensuplai gas,” terang Usman.
Selama ini, masalah yang seringkali menjadi kendala PT PIM adalah tidak adanya suplai gas ke perusahaan itu. PIM hanya mampu membeli gas dengan harga US$ 5 per mmbtu. Pasokan gas untuk PIM akan aman bila tahun 2010 mendatang, Blok A, milik Medco di Langsa, beroperasi. Gas Blok A, ini pula yang diharapkan PIM untuk bisa disuplai ke perusahaan itu. Tentu dengan harga yang mampu dibeli perusahaan itu senilai US$ 5 per mmbtu.
Usman mengatakan, pasokan pupuk dipastiskan aman ke petani di Aceh tahun ini. Tahun ini, PIM mampu memproduksi pupuk sebanyak 566.000 ton per tahun. Maksimal mencapai 811.000 ton per tahun.
Namun, saat disinggung kontribusi ke daerah Aceh Utara, Usman mengatakan tidak mengetahui persis nilai rupiah. Dia mengatakan, setoran pajak diberikan pada pemerintah daerah. Sedangkan, setoran bagi hasil migas disetorkan pada pemerintah pusat. Dana itu, akan dibagi ke pemerintah Aceh Utara. “Angka rupiahnya saya lupa berapa pajak kita setorkan per tahun ke Aceh Utara. Itu yang tahu persis bagian keuangan kantor. Saya tidak ingat angkanya. Namun, perlu diingat, multi efek hadirnya proyek vital sangat membantu Aceh Utara,” kata Usman. Dia mencontohkan, saat ini PIM mempekerjakan 1.060 tenaga kerja organik, dan 2.000 tegaka kerja non organik. “Tenaga kerja itu saja sudah mampu mengurangi jumlah pengangguran di Aceh Utara. Bayangkan, kalau semua proyek vital tutup, maka beban Aceh Utara akan bertambah,” kata Usman.
Pemerintah Aceh Utara, saat ini mendapatkan dana bagi hasil migas terbesar di Aceh. Wajar saja, karena daerah ini merupakan daerah penghasil minyak bumi dan gas. Tahun 2009, Aceh Utara memperoleh tambahan dana bagi hasil dan otonomi khusus sebesar Rp 1, 89 triliun, tahun 2007 lebih kecil sebesar Rp 400 miliyar lebih. UU Pemerintah Aceh mengamanahkan, agar daerah penghasil lebih banyak mendapatkan dana bagi hasil migas. Namun, semua itu disesuaikan dengan produksi gas di daerah tersebut. Semakin kecil produksi, dan semakin kecil jumlah perusahaan yang beroperasi, maka pendapatan dari sector ini pun akan semakin kecil.
ENI Menunggu BP Migas
Sementara itu, harapan dari Pemerintah Aceh Utara, bisa mendapatkan bagi hasil gas tetap. Hal ini seiring dengan rencana perusahaan ENI Indonesia melakukan ekplorasi minyak dan gas di Desa Krueng Mane, Kecamatan Muara Batu, Aceh Utara. Di daerah itu, menurut ENI terdapat tiga sumur yang memiliki gas.
Kepala Community Relations Officer ENI Indonesia, Didiek Djatiwaluyo, dihubungi Kontras per telepon, menyebutkan ENI belum mendapatkan lampu hijau dari BP Migas untuk memulai ekplorasi. “Kita belum melakukan produksi. Plant of Development (PoD) kita masih pada BP Migas. Kita belum bisa pastikan kapan,” kata Didiek.
Dia menyebutkan, setelah PoD diberikan oleh BP Migas baru akan memulai operasional anak perusahaan yang diberi nama ENI Krueng Mane. Didiek juga membantah bahwa ada kabar perusahaan itu telah merekrut tenaga kerja sebanyak 2.000 orang. “Ah, tidak. Tidak ada. Kita belum beroperasi mas. Mana mungkin rekrut tenaga kerja,” kata Didiek dengan logat khas bahasa Jawa.
Terancam Bangkrut
Informasi dihimpun, hasil Musrenbang Pemkab Aceh Utara diketahui jumlah pendapatan tahun 2010 hanya sekitar Rp 660 miliar. Dari dana ini nantinya diperuntukkan untuk belanja pegawai mencapai Rp 580 miliar. Sementara sisanya nanti baru akan dipakai untuk belanja pembangunan atau untuk belanja lainnya.
Bahkan kondisi ini jelas terlihat dari realisasi pendapatan pada tahun 2009. Jumlah penerimaan anggaran pendapatan tahun 2009 Kabupaten Aceh Utara Rp 721.064.621.296. Bila dibandingkan dengan rencana penerimaan setelah perubahan APBD tahun 2008 mengalami penurunan sebesar Rp 263.277.443.932 atau sebesar 26,75 persen. Sementara itu penurunan tampaknya kembali terjadi pada tahun 2010 nanti. Dengn begitu, daerah ini terancam bangkrut. Ditambah lagi, pendapatan sector migas akan terus berkurang, sesuai dengan produksi gas di daerah tersebut. [masriadi]
01.01 |
Posted in
ACEH BISNIS,
Feature
|
Read More »
teks ini, juara harapan pada lomba yang diadakan IMPACT Aceh, Agustus 2009
DUA PULUH LIMA orang pekerja tampak sedang tidur-tiduran di balai. Bertelanjang dada, ada yang sibuk membaca koran, menikmati segelas kopi, dan bersiul. Ada pula yang terlihat hanya tiduran. Melepas penat setelah seharian menggembala sapi. Ya, di situlah sentral peternakan Muda Samudera. Lembaga peternakan itu didirikan oleh mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Mereka memiliki lahan seluas 1.500 hektare dipinjam dari masyarakat. Letaknya sekitar 30 kilometer arah timur Kota Lhokseumawe, tepat berada di lokasi perbukitan Desa Alue Awe, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe.
Di situlah saban hari pekerja memelihara 210 ekor sapi. Sapi itu hibah dari Badan Rehabilitasi dan Rekontruksi (BRR) Aceh-Nias sebanyak 60 ekor, dari dana otonomi khusus (otsus) Pemerintah Aceh sebanyak 150 ekor.
“Ini awal untuk kebangkitan sapi di Aceh. Saya pikir, peternakan ke depan sangat menjanjikan. Sudah saatnya, masyarakat Aceh memiliki peternakan sendiri. Jangan lagi semuanya harus berharap ke daerah lain,” ujar Khairul Kamal alias Nuyon.
Nuyon memulai usaha peternakan itu, Oktober 2008 silam. Satu bulan kemudian dia resmio membuka lahan peternakan. Semua ternak itu jenis kelamin perempuan. Targetnya adalah mengembangbiakan sapi tersebut. Sayangnya, ternak itu terpaksa harus dilepas ke areal perbukitan. Nuyon mengaku belum memiliki lahan buka dan tutup. “Kami belum punya lahan buka dan tutup. Misalnya, kita lepaskan ternak ke lahan A, setelah habis rumput itu. Lahan A, kita tanam kembali. Lalu, ternak kita lepas ke lahan B. Selama ini, ternak kita lepaskan ke lahan terbuka semuanya. Selain kita sediakan pakannya,” terang Nuyon.
Kandang sapi pun terlihat ala kadar. Belum ada kandang yang memadai. Nuyon, mengaku target mereka membuat kandang standart. Sehingga, ternak tidak terkena air hujan dan embun malam. Saat ini, kandang yang tersedia berupa pondok-pondok kecil berukuran 3 x 6 meter. Jumlahnya pun terbatas, tidak mampu menampung seluruh hewan ternak itu. “Kami terkendala dana,” ujar Nuyon tersenyum.
Ketika konflik, areal peternakan itu menjadi lahan perang. Tak ada masyarakat sipil yang berani berkunjung. Hanya TNI dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) saban waktu kontak tembak di lokasi itu. Kini, tak ada lagi ketakutan di bukit itu. Ramai petani mulai membuka lahan. Menanam tumbuhan atau beternak.
Program peternakan itu merupakan program pemberdayakan Muda Samudera. Masyarakat diajak berperan aktif dalam peternakan. Sistem ini sebenarnya sudah lama dilakukan oleh nenek moyang masyarakat Aceh. Masyarakat Aceh menyebutnya mawah (bagi hasil), jika di Jawa disebut gadu.
Nuyon mengatakan, sistem bagi hasil umumnya 50:50. “Hasilnya bagi dua antara pengelola dan pemilik. Itu yang berlaku umum di masyarakat. Kami menerapkan 70:30. 70 persen hasil untuk pengelola, dan 30 persen hasil untuk pemilik, untuk lembaga,” terang Nuyon.
Angka ini terbilang besar. Dari jatah 30 persen itu, Muda Samudera menyisihkan 10 persen hasil peternakan itu untuk anak yatim, 10 persen untuk aktifitas lembaga, dan 10 persen lagi untuk memperbaiki fasilitas umum di desa tersebut. Maklum, fasilitas pembangunan desa sangat terbatas. Bangunan meunasah yang kusam, jalan yang berlumpur, dan toilet umum yang tidak layak pakai terlihat jelas di desa itu. Ini pula yang ingin dibenahi perlahan oleh Muda Samudera.
Sementara itu, koordinator lapangan peternakan itu, Mawardi, menyebutkan tidak ada batas antara pengelola dan pekerja. Semuanya terbalut dalam kebersamaan. “Kalau kita ada uang, kita makan enak ya sama-sama. Kalau tidak, ya tidak sama sekali,” kata Mawardi.
Dia menyebutkan, meski kekurangan uang, mereka tetap semangat. Targetnya, membawa peternak lain untuk memberdayakan hewan ternak dengan pola yang baik. Hasilnya, lumayan. Sebagian peternak di daerah itu telah beternak dengan pola yang baik, yaitu menyediakan lahan, melepas ternak pada lahan yang dip agar, dan menyediakan lahan khusus untuk menanam rumput gajah sebagai pakan ternak.
“Meski baru memulai. Sebagian peternak sudah mengikuti jejak kami. Ini sebenarnya yang kami targetkan. Jangan pakai pola lama, beternak dengan melepas sapi sembarangan. Itu merugikan orang lain, karena sapi akan memakan tanaman petani lainnya,” imbuh Mawardi.
Kini, Muda Samudera memiliki lahan pakan rumput gajah seluas 30 hetare. Biaya perawatan rumput itu mencapai Rp 15 juta per hektare. Dana ini belum dimiliki. Meski begitu, mereka bertahan dengan pondasi dana yang tak begitu kuat. “Kami terus bertahan. Berupaya mencari pondasi dana lagi, khusus untuk peternakan ini,” kata Mawardi.
Saat disinggung bantuan dari Pemerintah Kota Lhokseumawe, Nuyon tersenyum. Dia menyebutkan, bantuannya sangat minim. “Bantuan uang tidak ada. Tapi, kami bersyukur dibantu pengobatan. Kalau sapi sakit, kami panggil mantri hewan pada Dinas Peternakan Lhokseumawe. Ini saja bantuannya,” terang Nuyon.
Dia bahkan kini membuka lahan itu untuk dikunjungi oleh masyarakat umum. Dia mengajak para mahasiswa dan pelajar untuk datang berkunjung, melakukan studi banding dan sambil berdiskusi tentang pengembangan peternakan yang lebih baik. Sejurus dia terdiam. Sebatang kretek ditarik dari saku baju kaos. Dibakar, lalu asap kretek mengepul. Dia menuju sapi. Senja hampir tiba. Sapi mulai pulang. Pekerja menyediakan pakan. Sapi-sapi itu tampak gemuk, sibuk melahap pakan yang disediakan dalam palung kayu berukuran 1 x 50 meter.
“Kami terbuka dengan dunia luar. Silahkan berkunjung ke mari. Di sini, kita diskusi, menukar ilmu tentang peternakan,” terang Nuyon. Ketika sapi-sapi itu sudah melahirkan anak, maka pengelola pun dig anti. Targetnya adalah pemberdayaan masyarakat di bidang peternakan. “Setelah bagi hasil nanti. Kita akan ganti pengelola. Jadi, tidak hanya masyarakat yang sudah bergabung ke mari faham tentang peternakan. Masyarakat lain juga. Masyarakat dapat bagi hasil plus ilmu,” terang Nuyon.
***
Awalnya, tidak ada masyarakat yang yakin terhadap janji Nuyon tentang bagi hasil dengan perbandingan 50:50 itu. Nuyon pun bersama sejumlah tuha peut dan tuha lapan desa itu menggelar rapat. Mengajak masyarakat untuk lebih kreatif dalam beternak. Tidak lagi menggunakan sistem lama, yaitu melepas ternak begitu saja. Tanpa menyediakan lahan peternakan. Pola lama ini merugikan masyarakat lainnya.
“Kami pikir pola lama itu kurang bagus. Itu merugikan masyarakat lainnya. Sebut saja, ternak kita lepas sembarangan, lalu ternak itu memakan cabai, kacang milik petani lainnya. Ini yang rugi orang lain. Untung sepihak, sepihak lagi malah rugi,” ujar dia. Nuyon mengaku sulit meyakinkan masyarakat. Maklum, paskatsunami 26 Desember 2004 silam, banyak masyarakat mulai terlena pada bantuan lembaga donor.
“Diawal kami ditanya, apakah ini ada uangnya. Saya jawab, rumah saya saja sangat jelek. Mana mungkin punya uang banyak. Masyarakat yakin, karena mereka juga mengenal saya dan tahu keturunan saya, dan kondisi keuangan saya yang pas-pasan. Makan saja susah,” kata Nuyon tersenyum.
Ditemui di tempat terpisah, salah seorang pekerta pada peternakan Muda Samudra, M Saleh (55 Tahun) menyebutkan awalnya dia kurang tertarik dengan ajakan Nuyon. Namun, dia ingin mencoba cara beternak yang benar. Tidak mengikuti pola peternakan dari nenek moyang. “Saya coba saja. Setelah berjalan, kami di sini saling bersama. Kebersamaan pula membuat kami bertahan. Kami ingin desa ini lebih maju. Peternakannya maju, dan gampong juga maju,” kata Saleh.
Dia bersama 25 rekannya saban waktu menjaga ternak itu. Pulang ke rumah dengan sistem bergantian. “Kita saling mengerti. Karena di sini sistem bagi hasil. Jadi kalau ada yang perlu pulang ke rumah ya gentian. Hana yang pajoh akai (tidak ada yang menipu teman sendiri. Semua dibangun dengan kejujuran),” kata Saleh.
Sementara itu, keuchik Desa Alue Awe, Murhaban Ibrahim, mengatakan program mawah dan memperkenalkan cara beternak yang baik pada masyarakat itu sangat bagus. “Otomatis kampung juga aman dari perkelahian antar warga. Dulu, seringkali saya menerima laporan kalau lembu si A, memakan cabai si B. Kita damaikan lagi. Kalau begini kana man,” ujarnya.
Dia menyebutkan, jika semua kampung memiliki pola pertanian dan peternakan dengan sistem serupa, maka tinggal menunggu waktu, petani dan peternakan akan kaya. Mereka kaya dengan hasil kerjanya sendiri. Tidak merusak milik orang lain.
Kini, program mawah terus berjalan. Dua tahun ke depan, sapi itu akan melahirkan anak. Dengan begitu, pekerja diuntungkan. Kampung akan dibangun dari hasil sapi tersebut. Ya, inilah kisah membangun kampung dari hasil masyarakat. Saatnya masyarakat berjaya di kampungnya, dan membangun kampungnya sendiri.
Menyo keun minyeuk mandum lehop. Meunyo ken dro mandup gob (kalau bukan minyak semua lumpur. Kalau bukan kita siapa lagi). Tamsilan kalimat bijak masyarakat Aceh itu tampaknya cocok untuk ditabalkan pada kampung ini. Ya, kampung bekas perang, mulai mengarang pembangunan daerahnya sendiri.
02.14 |
Posted in
Feature
|
Read More »
Antara Nafsu Bisnis, dan Kebejatan Moral
Pembajakan terus terjadi di negeri ini. Dari Aceh hingga Papua. Sejumlah orang sibuk melakukan pembajakan. Antara kepentingan bisnis dan pelacuran karya. Itulah lakon yang dijalankan oleh para pelaku pembajakan karya intelektual, seperti industri musik, dan lain sebagainya. Hal ini meresahkan pelaku seni di Aceh.
DENTUMAN musik mengalun keras di Jalan Perniagaan, Kota Lhokseumawe. Lebih dari 20 pedagang video compact disk (VCD) bajakan berada di kiri-kanan jalan. Suara musik hingar-bingar. Umumnya aliran musik yang diputar house, ada pula lagu Aceh dan pop alternatif dari band-band nasional yang sedang naik daun.
Jika melintas di jalan itu, maka sulit untuk menikmati lagu yang mengalun. Terkesan berisik. Tidak nyaman. Memutar musik dengan gaya serupa juga diikuti pedagang kaset pada sejumlah toko kaset di kota itu. Tren menghidupkan musik sekeras-kerasnya itu bertujuan untuk menarik perhatian pembeli.
Pembeli pun berjubel memadati pedagang kaset bajakan itu. Pembeli bukan hanya tergolong kaum berkantung tipis, namun sebagian mereka juga berkantung tebal. Bisa dilihat dari mobil-mobil mewah dan mengkilap yang parkir di dekat para pedagang kaset. Artinya, pembeli kaset bajakan bukan hanya berlatar belakang rendah, sebagian diantara mereka berpendidikan tinggi dan kaum intelektual.
Semua kelompok usia terlihat berjubel. Harga jual relatif murah membuat mereka tak berpikir panjang. Mereka tak menghargai kekayaan intelektual si pencipta lagu dan penyanyinya. Ini pula yang membuat industri musik di Indonesia lebih khusus di Aceh susah bangkit ke permukaan. Harga per keping VCD bajakan hanya Rp 5.000. Jauh lebih murah dibanding harga VCD original mencapai Rp 25.000-Rp 30.000 per keping.
“Kami membeli karena harganya lebih murah. Kuwalitas musiknya juga tak jauh berbeda. Hanya video klipnya saja yang terkadang tak sesuai dengan aslinya,” ungkap salah seorang pembeli yang ditemui, Mansurdin, akhir pekan lalu.
Ucapan Mansurdin ada benarnya. Kemajuan teknologi membuat para pembajak kekayaan intelektual ini mudah berkreasi. Kuwalitas bajakan dan kaset original sulit dibedakan. Bahkan, ada pula kaset bajakan yang musik dan video klipnya asli. Layaknya VCD original.
“Ngapain membeli yang asli. Jika kuwalitasnya beda tipis. Kalau bajakan murah dan meriah,” tambah Mansurdin lagi. Bukan hanya kaset lagu saja yang dibajak. Produk industri rekaman lainnya seperti film pun tak luput. Bahkan, film komedi Aceh yang fenomenal itu, empang breueh, pernah dibajak satu hari setelah lonching resmi film tersebut. Harga tentu jauh dibawah harga label asli.
Ini jelas membuat para sineas dan seniman kebakaran jenggot. Jika melihat motifnya, pasti upaya pembajakan ini bukan hanya dilakukan dari Medan, Sumatera Utara. Namun, tampaknya pembajakan juga dilakukan di Aceh. Hal ini merujuk kasus pembajakan film empang breueuh seri empat. Tidak mungkin si pembajak berada di luar Aceh, bila kaset bajakan itu telah beredar satu hari setelah laonching resmi film tersebut.
Seniman Dirugikan
Aksi pembajakan ini merugikan sejumlah seniman dan sineas di Aceh. Ini menjadi bola panas industri seni di Aceh. Maklum, honor sineas dan seniman Aceh belum seberapa. Mereka belum menikmati royalti besar layaknya pemusik tanah air.
Peredaran kaset pun hanya di Provinsi Aceh. Sangat sedikit yang beredar di luar pulau yang menerapkan hukum syariat Islam itu. Jika pun ada yang beredar ke pulau Jawa, umumnya kaset itu di bawa oleh mahasiswa, yang menimba ilmu di Pulau Jawa. Jumlahnya sangat terbatas. Masih di bawah 50 keping.
“Jelas kami yang dirugikan. Semua seniman tidak nyaman dengan adanya kaset bajakan itu. Karena, jika kaset asli yang terjual. Honor kami bertambah,” ujar salah seorang artis Aceh, Ricky Sabil akrab disapa Bang Raja.
Umumnya, sebut Ricky pembelian karya seni oleh para produser di Aceh dengan menggunakan sistem beli putus. Sistem ini merupakan pembelian per lagu. Jika album ini meledak di pasaran, maka yang diuntungkan si produser. Sedangkan penyanyi hanya menerima honor lagu di awal. Sangat sedikit produser yang menerapkan sistem royalti pada industri musik di Aceh. Sistem royalti merupakan sistem yang mengundungkan pekerja seni. Jika produk itu laris-manis di pasaran, maka si pencipta, penyanyi berhak mendapatkan royalti per sekali produksi. Umumnya, royalti ini sebesar 20 persen. Ada pula yang menawarkan 10 persen.
“Kalau sistem beli putus. Itu tidak menguntungkan para penyanyi atau pencipta lagu. Namun, sangat menguntungkan produser jika kaset yang dilepas laris-manis,” sebut Aristia, penyanyi lainnya.
Nafsu Bisnis
Sementara itu, di tempat terpisah, Manajer Pusat Informasi dan Pengembangan Bisnis (Pinbis) Lhokseumawe, Sutan Febriansyah menilai pelaku pembajakan kaset dan karya seni di Aceh cendrung berorientasi bisnis semata. Dia menyebutkan, para pelaku pembajakan itu tidak pernah berpikir soal dampak hukum yang ditimbulkan dari aksi pembajakannya itu. Selain itu, Sutan menyebutkan, keuntungan dari bisnis kaset bajakan ini sangat menggiurkan. “Jika di produksi dalam jumlah kecil saja, untuknya 50 persen, misalnya, harga kaset kosong itu sebesar Rp 2.000 per keeping. Lalu di burning dengan menggunakan computer dan program tertentu. Kamudian, dibuat label sedikit, cukup discan dan diprint pada kertas mengkilap. Maka cover itu akan tampak seperti aslinya. Biaya produksi per keeping kaset bajakan itu saya pikir hanya Rp 3.000. Harga jual Rp 5.000 per keeping. Masih untung kan,” terang Sutan.
Penelurusan Kontras ini, untuk kaset artis nasional memang dijual Rp 5.000 per keping. Namun, untuk VCD lagu Aceh dan film Aceh tidak jarang kaset bajakan itu dijual mencapai Rp 20.000 per keping.
“Nah, kalau dijual sesuai dengan harga cover aslinya, maka laba si pembajak kaset ini akan lebih besar. Ini bisnis mudah, murah, dan laba besar. Namun, ini bisnis haram,” kata Sutan yang juga dosen pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Bumi Persada Lhokseumawe.
Padaha, sebut Sutan, Indonesia telah mengesahkan hak kekayaan intelektual dengan disahkannya UU No 19/2002 tentang hak cipta. Produk hukum itu mengancam bagi pelaku pembajakan maksimal tujuh tahun penjara atau denda sebesar Rp 5 Miliyar.
“Tidak mungkin si pembajak kaset itu tidak tau ekses hukum tindakannya. Hukumannya menurut undang-undang itu bisa penjara. Mereka hanya pura – pura tidak tau,” tegas Sutan. Sutan menyebutkan tindakan itu merupakan kebejatan moral. “Kebejatan moral harus segera diatasi. Semua elemen seniman, kalangan produser, kalangan akademisi, harus melakukan sosialisasi hukum tentang hak kekayaan intelektual pada masyarakat. Atau melakukan gerakan bersama anti pembajakan dan stop pembajakan di Aceh. Ini penting, agar masyarakat kita tidak mau lagi membeli lagi kaset bajakan. Dengan begitu, maka pelaku pembajakan akan hilang dengan sendirinya, karena pasarnya sudah tidak ada,” terang Sutan.
Nilai Seni Rendah
Ketua Dewan Kesenian Aceh (DKA) Kota Lhokseumawe TM Zuhri memiliki pandangan lain. Dia menilai kuwalitas seni di Aceh terbilang rendah. Banyak music dan lagu yang dijual tidak original. Sehingga, kuwalitas musik pun dianggap remeh oleh para penikmat musik.
“Seniman kita masih banyak kekuaranga. Hal ini bisa dilihat rendahnya kuwalitas dalam bermusik. Banyak yang mengcopy-paste musik luar daerah, lalu diarasemen ulang dan diubah liriknya dalam bahasa Aceh. Ini juga tidak bagus. Ini membuat pembeli enggan membeli kaset original. Jika hanya begitu, konsumen pasti memilih kaset bajakan. Murah, dan meriah,” kata TM Zuhri.
Dia menyebutkan, aksi pembajakan saat ini memang sangat meresahkan. Seharusnya, lanjut TM Zuhri, aksi pembajakan itu menjadi inspirasi para seniman agar membuahkan karya yang lebih bagus, fenomenal, dan menarik minat dengar konsumen.
Saat ini, sebutnya, industri musik di Aceh memang belum begitu menjanjikan. Rata-rata para produser hanya berani memproduksi 10.000 keping VCD per album. Tidak jarang pula produser hanya berani memproduksi 5.000 keping. “Produser khawatir kaset itu tidak laku. Makanya dicetak sedikit. Kalau lagu bagus, mutu bagus, dan original. Pasti menjadi pertimbangan produser untuk mencetak banyak. Ini yang patut kita benahi bersama,” kata TM Zuhri.
Dia mengatakan, faktor lain membuat banyaknya aksi pembajakan kaset musik Aceh karena artis yang lahir terlalu banyak. Para artis ini bahkan tidak mengikuti proses mencapai sukses. Dia mengungkapkan, banyak artis yang mencapai kepopuleran dengan merogoh kocek sendiri. Membayar semua biaya produksi.
“Banyak cara meraih popular. Namun, kalau caranya begitu, saya khawatirkan kuwalitasnya. Sehingga,sangat sulit menikmati music Aceh yang original dan baru. Tidak copy-paste dari musik karya orang lain,” terang TM Zuhri,
Dia menyarankan, agar penyanyi, seniman, dan produser di Aceh berani tampil beda dalam bermusik. “Kreatif, sehingga nilai music semakin tinggi. Dan, masyarakat pun tak merasa rugi bila mengeluarkan uang lumayan besar untuk membeli kaset mereka (penyanyi, dan pencipta) lagu itu,” kata Zuhri.
Perlu Aksi Polisi
Untuk memberangus aksi pembajakan VCD dan karya seni lainnya di Aceh diperlukan peran aktif aparat kepolisian. Aksi pembajakan ini bukan hanya dialami seniman di Lhokseumawe, namun seluruh daerah lainnya di Aceh juga mengalami hal yang sama. Untuk itu, Polisi tampaknya perlu bertindak tegas. Membongkar pembajak kaset di Aceh. Selain itu, peningkatan kuwalitas dalam bermusik dan kampanye anti pembajakan perlu dilakukan serempak ke seluruh Aceh. Ini menjadi harapan Ricky Sabil, Aristia dan TM Zuhri. Pekerja seni menunggu aksi Pak Polisi. Karena, pembajakan adalah tindakan melanggar hukum, pembajakan tindakan tercela. Untuk itu, mari teriakkan stop pembajakan karya seni Aceh. [masriadi/kontras]
01.22 |
Posted in
Feature
|
Read More »
Pembangunan kereta api telah berlangsung sejak dua tahun lalu. Hingga kini, belum jelas kapan akan beroperasi. Pembangunan rel belum rampung. Bahkan, tak ada koordinasi pembangunan rel dengan pemerintah kabupaten/kota. Inilah potret buruk, pembangunan tanpa perencanaan yang matang.
SIANG itu, Sabtu (1/8) mendung menggantung di langit Desa Krueng Geukuh, Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Sejumlah anak-anak bermain di sekitar gerbong kereta api. Lima gerbong plus satu gerbong masinis telah dipajang di situ. Sekitar 100 meter dari pusat Kedai Krueng Geukuh. Disitulah direncanakan terminal persinggahan untuk kabupaten Aceh Utara. Gedung terminal sudah rampung. Namun, masih kosong. Tak ada mobiler di dalam gedung itu. Ruang itu pun terlihat jorok.
Gerbong itu dikhawatirkan menjadi besi tua. Pasalnya, pembangunan rel kereta api hingga kini belum rampung. Saat ini, pembangunan rel baru memasuki kawasan Cunda, Kota Lhokseumawe. Pembangunan rel kereta api (KA) ini terkesan dipaksakan. Pembangunan itu tidak melihat sisi kepentingan masyarakat. Bahkan, tidak ada sosialisasi terhadap rencana pembangunan rel kereta api pada masyarakat di lintasan rel.
“Kami tidak pernah tau tentang pembangunan rel. Tiba-tiba sudah dibangun. Seharusnya ini didiskusikan dulu,” kata salah seorang pedagang di Keudai Krueng Geukuh, Aceh Utara, Musyawir. Pembangunan rel di daerah itu memang melintasi arena pedagang kaki lima di Keudai Krueng Geukuh. Otomatis, pedagang pun harus pindah. Ini secuil kisah tentang pembangunan rel yang merugikan masyarakat.
Cerita lainnya, terjadi di Desa Batuphat Barat, Kecamatan Muara Satu, Lhokseumawe. Masyarakat desa itu, pernah menggelar demonstrasi menolak pembangunan rel KA, 5 Nopember tahun lalu. Masyarakat menggelar demo ketika truk pengangkut besi dan batu meletakkan material pembangunan rel. Mereka meminta agar satuan kerja (Satker) Kereta Api, pada Dinas Perhubungan Provinsi Aceh, membangun jalan alternatif di sekitar itu.
“Kita sudah buat perjanjian dengan dinas perhubungan, soal pembangunan jalan alternatif untuk desa ini. Waktu itu, mereka meng-iyakan. Tapi, sekarang tidak dilakukan. Bahkan, sampai sekarang juga belum ada realisasi janji itu,” terang, Sarbento (45 tahun) kepada Kontras. Surbento pula yang menjadi juru bicara pada aksi itu.
Dia menyebutkan, perjanjian membangun jalan alternatif dihadiri Dinas Perhubungan Kota Lhokseumawe, Dinas Pehubungan Provinsi Aceh, Camat Muara Satu, perusahaan jasa kereta api (PJKA) dan geuchik Batuphat Barat, Blang Pulo, Batuphat Barat, dan Meuria Paloh pada tanggal 12 Agustus tahun lalu di aula kantor camat setempat. Setelah demontrasi digelar, Camat Muara Satu, Tarmizi, pun kembali menggelar rapat. Saat itu, tim PJKA, dan Satker Kereta Api datang. Mereka berjanji akan membangun jalan alternatif yang diminta warga tahun ini. Namun, sampai saat ini pembangunan jalan alternatif itu belum juga direalisasikan.
Camat Muara Satu, Tarmizi mengakui hingga kini belum ada pembangunan jalan alternatif. “Kami belum tau sampai sekarang. Berdasarkan perjanjian, dalam tahun 2009 ini akan di bangun jalan untuk masyarakat. Jalan ini penting, karena ini kawasan permukiman penduduk yang sangat padat. Jika tidak, dikhawatirkan, bila terjadi kebakaran, masyarakat tak bisa menyelamatkan diri. Karena, jalan utama sudah digunakan untuk rel KA,” terang Tarmizi.
***
Koordinasi Pembangunan Rel Buruk
Koordinasi pembangunan rel KA ini pun sangat buruk. Dinas Perhubungan di kabupaten/kota pun tidak mengetahui rencana strategi pembangunan rel itu. Kepala Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Lhokseumawe, Zulkifli mengaku tidak mengetahui rencana pembangunan itu. Dia mengatakan, sampai saat ini satu lembar surat pun tidak dikirimkan Dinas Perhubungan Provinsi Aceh pada kabupaten/kota. Untuk Lhokseumawe, menurut tercatat 20 kilometer jalan dilintasi pembangunan rel tersebut.
“Kami tidak tahu detailnya. Saya sendiri tidak pernah diajak duduk, rapat atau lain sebagainya. Mereka (Dinas Perhubungan Provinsi Aceh) hanya kerjakan sendiri. Kami tidak diberi tahu berapa meter, siapa kontraktornya, dan lain sebagainya. Entah karena ini proyek nasional, entah karena apa, nggak mengerti saya,” kata Zulkifli.
Sementara itu, Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Aceh Utara, Balisyah, menyebutkan rapat koordinasi pembangunan rel KA dilakukan empat tahun lalu di Banda Aceh. Waktu itu, pembangunan rel KA baru pada tahap perencanaan.
“Kami di undang Pak Azwar Abubakar, masih menjabat Pj Gubernur Aceh. Waktu itu, rapat koordinasi tahap awal. Setelah rapat itu, kami tidak pernah diundang dan diberitahu tentang pembangunan kereta api,” kata Badli.
Badli dan Zulfkili, hingga saat ini tidak pernah tau sejauhmana realisasi pembangunan KA. “Kami tidak tau apa pun. Bahkan, saya tidak tau, sejauhmana rel itu. Berapa meter, apa saja yang akan dibangun. Semua saya tidak tau,” kata Badli.
Buruknya koordinasi pembangunan rel ini juga bisa dilihat tidak adanya koordinasi dinas terkait pada level provinsi. Dinas Perindustrian, Koperasi dan Perdagangan (Disperindagkop) tahun 2008, membangun 60 kios untuk pedagang buah di Kecamatan Baktiya. Pembangunan itu berada di atas lintasan rel dan tanah milik PJKA.
Untuk membangun kios itu, Disperindagkop Provinsi Aceh mengucurkan dana sebesar Rp 2 Miliyar. Sampai saat ini, kios itu belum difungsikan. Ini pula membuang salah seorang anggota DPRK Aceh Utara, Hamdani AG, kesal. Dia menyesalkan tidak ada koordinasi antara pemerintah provinsi dan kabupaten.
“Itu tanahnya milik PJKA. Dibangun di atas lintasan rel. Kalau rel di bangun di situ, otomatis kios itu harus di bongkar. Dinas provinsi harusnya berkomunikasi dengan dinas di kabupaten. Sehingga, pembangunan lebih bermanfaat pada rakyat,” terang Hamdani AG.
Masyarakat dan pemerintah kabupaten/kota dihadapkan pada dilema. Menolak pembangunan rel sudah kepalang tanggung. Sejak awal, masyarakat sipil menolak dibangun rel KA yang menghubungkan Aceh-Medan, Sumatera Utara ini. Meski begitu, tak ada cara lain. Koordinasi pembangunan harus dibenahi. “Stop dulu pembangunan rel kereta api. Karena, konflik di kalangan masyarakat larinya ke kami. Kami yang menanganinya. Sedangkan, dinas provinsi tidak. Koordinasi penting untuk melanggengkan pembangunan,” kata Kepala Dinas Perhubungan Lhokseumawe, Zulkifli.
Kritikan tajam bahkan digelontorkan Dinas Perhubungan Aceh Utara. Dia menyebutkan, perlu pemindahan jalur rel kereta api. Artinya, tidak lagi mengikuti jalur sebelumnya. “Kalau ikut jalur sebelumnya. Banyak pembangunan yang sudah dilakukan terbuang percuma. Di Aceh Utara, yang sudah terlihat di Baktiya. Semua kios itu akan terbuang percuma,” terang Badli. Dia menyerankan, alangkah baiknya, jalur rel itu dipindahkan. Tidak lagi menghubungkan antara Lhokseumawe-Medan. Namun, menghubungkan Lhokseumawe-Bener Meriah.
“Karena kalau di bangun ke pedalaman, saya pikir lebih bermanfaat,” terang Badli.
Pembangunan rel kereta api telah berlangsung sejak tahun 2008 silam di Aceh Utara dan Lhokseumawe. Sampai saat ini, pembangunan rel belum rampung. Gerbong KA terancam berkarat, lebih parah. Terancam menjadi besi tua. Inilah kisah carut-marut pembangunan rel kereta api di Aceh. [masriadi/kontras]
01.20 |
Posted in
Feature
|
Read More »
Tumpang tindih pembangunan terjadi di Aceh Utara. Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Provinsi Aceh membangun 60 unit kios untuk pedagang buah. Kios itu terpencar di Desa Matang Bayu, Kecamatan Baktiya Barat, Desa Samakurok, Kecamatan Tanah Jambo Aye, Desa Alue Ie Puteh, Kecamatan Baktiya, semuanya berada di Kabupaten Aceh Utara.
Proyek pembangunan itu mengambil sumber dana otonomi khusus tahun 2008 sebesar Rp 2 miliyar. Masalah pun muncul, pasalnya, pembangunan kios itu berada di atas rel kereta api. Amatan Kontras, Senin, 3 Agustus lalu, sebanyak 23 unit kios berjejer rapi di pinggir jalan Medan-Banda Aceh di Desa Matang Bayu, Kecamatan Baktiya. Cat bangunan warna kuning itu terlihat kusam. Pembangunan kios itu sudah rampung sejak akhir tahun lalu. Namun, hingga kini bangunan itu belum difungsikan. Jika dilihat dari letaknya, pembangunan kios itu juga tidak strategis. Pasalnya, tepat berada di tikungan jalan. Sehingga, bila melihat sisi bisnisnya, lokasi berada di tikungan jalan tentu tidak tepat untuk lokasi parkir kendaraan umum. Aturan lalu lintas, tidak bisa parkir pada tikungan. Sehingga, jika pun ke depan, kios itu digunakan, otomatis pengguna jalan harus memarkir kendaraan sekitar sepuluh meter dari meter dari kios itu. Seharusnya, kios dibangun di jalan yang tidak ada tikungannya. Sehingga memudahkan para calon pembeli untuk singgah di kios tersebut.
Seluruh kios tertutup rapat. Sejumlah masyarakat Desa Matang Bayu, menyebutkan tidak mengetahui mengapa kios itu belum difungsikan. “Kabarnya, karena persoalan tanahnya milik PJKA. Kabar ini yang kami tau beredar di masyarakat. Selebihnya, kami tidak tau, mengapa gedung ini belum difungsikan,” ujar warga Desa Matang Bayu, Muhammad (35 Tahun). Dia membenarkan bahwa tanah itu memang bekas lintasan rel.
“Semua orang tau, tanah itu dulunya memang lintasan rel. Jadi, tak mungkin pemerintah tidak tau,” tambah Muhamamad lagi. Hal ini juga dikritisi anggota DPRK Kabupaten Aceh Utara, Hamdani AG. Hamdani menyesalkan mengapa tidak ada koordinasi pembangunan antara provinsi dan daerah. Akibat tidak ada koordinasi itu, pembangunan untuk rakyat itu tidak bisa digunakan. Hamdani menegaskan, dewan akan terus berusaha mencari solusi terkait pembangunan kios itu. Bila perlu, dewan akan menyurati Disperindagkop Aceh Utara dan Aceh terkait persoalan itu.
Sementara itu, Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi (Disperindagkop) Aceh Utara, Mehrabsyah, menyebutkan sumber dana itu merupakan dari dana Otsus tahun 2008. Mehrab mengaku tidak mengetahui persis tentang pembangunan kios tersebut. Dia mengatakan, saat ini dirinya sedang membentuk tim mempelajari kasus kios terlantar tersebut. Ditambah lagi, tanah untuk kios itu merupakan tanah PJKA.
“Saya belum bisa kasi komentar banyak. Saya belum mengetahui titik masalahnya. Sedangkan ini, saya sedang bentuk memverfikasi kasus kios itu. Mengapa bisa dibangun di atas tanah PJKA,” kata Mehrabsyah, yang sebelumnya menjabat Kepala Bagian Ekonomi Pemerintah Aceh Utara.
Mehrab baru tiga bulan dilantik menjadi Kepala Dinas Perindagkop Aceh Utara. Sebelumnya, dia menjabat sebagai Kepala Bidang Ekonomi Pemerintah Aceh Utara. Dia mengaku, akan mencari solusi untuk pembangunan kios tersebut. Mencari jalan tengah agar kios itu bisa difungsikan dan bermanfaat untuk pedagang kecil. “Tapi, setahu saya itu dibangun Disperindagkop Provinsi Aceh. Detailnya, saya tidak tau,” kata Mehrab sembari mengatakan dirinya sedang ada rapat penting.
Mehrab berulangkali menyebutkan dirinya tidak menguasai masalah pembangunan kios di atas rel PJKA itu. “Saya tidak tahu pastinya dek. Coba ke Disperindagkop Provinsi Aceh saja. Takutnya, nanti saya salah memberikan keterangan,” ujarnya pada Kontras.
Sementara itu, mantan Kepala Disperindagkop Aceh Utara, M Noer Ibrahim tidak berhasilditemui. Bahkan, berkali-kali dihubungi ke nomor telepon selularnya, tidak aktif. Namun, masyarakat seperti Muhammad berharap kios itu tidak dibongkar hanya gara-gara membangun rel kereta api. Muhammad meminta, Pemerintah Aceh Utara segera memberikan kios itu pada masyarakat. Sehingga, sejumlah pedagang buah mangga di daerah tersebut bisa menggunakan kios itu. “Kami berharap, kios itu bisa diserahkan pada masyarakat secepatnya. Kalau rel mau dibangun, di bangun di tempat lain saja,” harap Muhammad. [masriadi/kontras]
01.15 |
Posted in
Feature
|
Read More »