SABTU malam lalu, saat jarum jam berdentang dua belas kali, puluhan remaja di Kota Lhokseumawe tampak sibuk membereskan sepeda motornya. Ada yang membersihkan busi, mengencangkan rem dan menguji kestabilan kemudi. Lalu, satu jam kemudian, aksi di mulai.
Lima sepeda motor jenis Satria berjejer. Satu orang remaja dengan rambut yang dibuat runcing menjulang ke langit, memberikan aba-aba. “Satu, dua, tigaaaaaaaaaaaaa,” teriaknya.
Lalu, lima sepeda motor itu pun melesat. Rutenya dari depan tugu Kantor Pos, memutar ke Simpang Empat Lhokseumawe dan kembali ke tempat semula. Di situlah pusat balapan liar di Lhokseumawe terjadi setiap akhir pekan.
Umumnya, remaja ini masih duduk di bangku SMP dan SMA. Mereka bergadang hingga larut malam. Aksi balap liar ini berlangsung hingga pagi hari. Salah seorang remaja bernama Israd Hasmi, warga Desa Hagu Barat Laut, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe mengaku ikut balap liar sejak dua tahun lalu.
“Kalau ditanya orang tua, saya bilang menginap di tempat teman. Minggu kan libur. Jadi orang tua mengizinkan. Padahal saya ikut balap liar,” katanya sembari tertawa.
Tak hanya mengadu ketangkasan di atas jok sepeda motor. Tapi mereka juga belajar berjudi lewat taruhan. Dua kali putaran masing-masing membayar Rp 10.000 per orang. Dari lima terkumpul Rp50.000. Uang itu memang hanya untuk dibelikan makanan dan rokok.
“Di rumah orang tua saya nggak tahu, saya ini merokok. Jadi semua serba menipu. Kalau tahu, mungkin mereka marah besar,” kata Israd lagi.
Remaja lainnya, Hasbi akrab disapa Ibi, mengaku hal yang sama. Dia berani mengutang untuk taruhan. “Kadang menang, ya kadang kalah juga,” akunya. Tidak kapok diburu polisi? Hasbi menggelang. “Kalau ada polisi ya lari. Aksi balapan dihentikan. Minggu depan kita balapan lagi,” katanya.
Aksi ini jelas mengundang maut. Irwan, warga Desa Keude Sawang, Kecamatan Sawang, Aceh Utara, dua minggu lalu ditabrak oleh pembalap liar itu. Shogun R, miliknya ringsek. Dia mengalami luka-luka. “Saya jalan pelan-pelan. Eh, satu pembalap liar itu, menabrak motor saya dari belakang. Saya minta bayar,” katanya.
Awalnya pembalap liar itu tak mau membayar ganti rugi kerusakan motor Irwan. Namun, ketika diancam akan dibawa ke Kantor Polisi dan dilaporkan ke orang tuanya, mereka terpaksa membayar. “Mereka itu tak bawa KTP atau kartu pelajar. Bahkan sebagian itu motor pinjaman. Jadi harus kita ancam, baru mau membayar,” ujar Irwan.
Polisi tidak tinggal diam. Seringkali polisi memburu aksi balap liar yang meresahkan warga itu. Suara bising kendaraan bermotor itu membuat tidur penghuni kawasan Jalan Merdeka tak pernah nyaman.
Kapolsek Banda Sakti, Iptu Adi Sofyan berulangkali menurunkan tim untuk menangkap pelaku balapan liar ini. “Kita sudah buru, sebagian kita tangkap. Kita proses, tapi kok tidak kapok-kapok mereka. Kita juga tak kapok menangkapnya,” kata Adi Sofyan.
Ketua Ikatan Motor Indonesia (IMI) Lhokseumawe, Teuku Anwar Haiva, mengatakan peran orang tua penting untuk mengontrol anaknya. “Orang tua harus berperan aktif. Selain itu, di sini, tidak ada sirkuit untuk anak muda menyalurkan balap motornya. Jadi, ya menggunakan jalan raya,” kata Anwar yang juga anggota DPRK Lhokseumawe.
Anwar menyarankan, Pemerintah Kota Lhokseumawe membangun sirkuit yang memadai. Sehingga aksi balapan liar tidak terjadi lagi di jalanan kota. “Kalau di sirkuit memang sudah tempatnya. Pemko Lhokseumawe harus memikirkan adanya sirkuit, agar generasi muda bisa menyalurkan hobi balap motornya,” kata Anwar.
Gagasan Anwar Haiva, setidaknya diharapkan bisa membuat anak anak lebih profesional. Mereka tidak membahayakan pengguna jalan lainnya, bila adrenalin yang dimiliki ditumpahkan di sirkuit. Namun sejauh ini, belum ada yang berpikr serius menghalau mereka ke arena balapan sesungguhnya. Akibatnya, mereka tak jera untuk menantang maut setiap malam buta. [masriadi sambo]
SAIFUL terlihat menikmati mi instan mentah di tenda pengungsian, di lokasi Kesatuan Pengamanan, Perairan, dan Pelabuhan (KP3), Lhokseumawe. Wajahnya tampak lesu. Matanya sedikit memerah, memperlihatkan keletihan.
Tiba-tiba, senyuman Saiful menyeruak ketika Independen menghampirinya, Jumat pekan lalu. Saiful menghentikan kunyahannya. “Beginilah. Sudah dua minggu saya di tenda ini,” ujar dia lirih, ketika lelaki berusia 35 tahun itu membuka kisah pilunya.
Saiful merupakan satu dari sekian korban abrasi pantai dari Desa Kampung Jawa Lama, Kecamatan Banda Sakti, Lhokseumawe. Ketika musibah datang, Saiful baru saja pulang. Ayah seorang putra ini bekerja sebagai penarik becak dayung di pusat kota.
Matanya menerawang, mengenang pilu dua pekan lalu. Sesampainya di rumah dengan keringat di tubuh belum kering, Saiful mendengar dentuman keras di dinding rumah kayunya. Gelombang laut silih berganti menghantam.
Saiful tak berpikir panjang. Lelaki itu langsung merangkul dan melarikan anak serta istrinya keluar rumah. Lima menit kemudian, rumah itu pun rubuh diterjang pasang purnama. Ia hanya bisa menyaksikan tempat berlindungnya tergerus ombak laut.
Sejak saat itu pula, Saiful mengungsi ke KP3 bersama 10 kepala keluarga (KK) lainnya. Dua tenda ukuran lima kali 10 meter dijadikan tempat berteduh. Tenda tanpa pembatas. Mereka tidur, berbaur satu sama lain.
“Kalau sembako masih memadai hingga tiga hari ke depan. Tapi, kami kesulitan minyak tanah. Beginilah nasib kami,” papar Saiful. “Kalau kami tak ada tempat tinggal sama sekali. Ya, terpaksa bertahan di sini. Tapi hingga kapan, saya tidak tahu.”
Tujuh KK korban pasang purnama senasib dengannya telah pulang. Mereka tidak kehilangan rumah. Rumah mereka rusak parah dan ringan. Masih bisa diperbaiki. Berbeda dengan Saiful. Rumahnya amblas bersama gulungan ombak.
Saiful tidak terkungkung sendiri. Fauzi dan M Yusuf juga senasib dengannya. Rumah mereka hancur total akibat abrasi. Tak ada tempat sama sekali.
Bagi Fauzi, rumah hancur itu sekaligus sebagai tempat pencari rezeki. Dia membuka warung kopi kecil-kecilan. Ayah empat anak ini, kini tak memiliki usaha lagi. Dia bingung harus bagaimana. “Beginilah nasib saya,” ujar Fauzi.
Saiful, Fauzi maupun M Yusuf belum tahu lokasi membuat rumah. Masalahnya mereka tak memiliki uang sesen pun. Di sisi lain, mereka mulai tak tahan menetap di bawah tenda hijau. Pengap dan panas sekali saat siang hari. Dingin di kala malam.
“Kami harap pemerintah membuatkan rumah. Kalau bisa lokasinya tak jauh dari kota. Karena, orang seperti saya, bekerja sebagai penarik becak. Kalau dipindahkan ke gunung, mana ada kerjaan saya di sana,” timpal Saiful.
Pemerintah Kota Lhokseumawe berencana mendirikan rumah bagi korban abrasi. Namun, belum dapat dipastikan lokasi pembuatan rumah itu. “Pemerintah kota akan berusaha memindahkan warga. Namun, lokasinya saya belum tahu,” sebut Kepala Humas Pemko Lhokseumawe M Nasir Ali.
Saiful, Fauzi, M Yusuf serta korban abrasi lainnya terus berharap. Mereka tak betah, terkungkung di bawah tenda pengungsian. Tenda yang tak pernah mereka impikan selama hidupnya. “Kami berharap segera direlokasi,” kata mereka penuh harap. [masriadi sambo]
ABDULLAH Hasan (56 Tahun) terlihat sibuk membersihkan perkarangan Dayah Nurul Iman, di Desa Cot Girek, Kecamatan Cot Girek, Aceh Utara, Sabtu (24/1). Dia terlihat segar. Ramah menyambut kedatangan Independen.
Pria ini dikenal sederhana. Kecintaannya pada flora dan fauna mengantarkannya ke pedalaman Aceh Utara. Abu, panggilan akrab Abdullah Hasan, menetap di Aceh Utara sejak tahun 1989.
Sebelumnya, pria kelahiran 1 Januari 1953 di Kecamatan Bambi, Pidie, ini menghabiskan masa kecilnya di tanah kelahiran. Memasuki usia 12 tahun, dia pindah ke Jakarta. Menempuh pendidikan lanjutan dan menengah.
Suami dari Hajjah Rafiah, ini lama menimba ilmu di Jamaah As-Syafiiyah, pimpinan Ustad Syafi’i, ayah kandung ustadzah kondang Tuti Alawiyah. “Saya hanya disuruh mendengarkan saja. Karena Ustad Syafi’ie tahu saya dari Aceh. Beliau bilang, kalau orang Aceh pemahaman agamanya sangat bagus,” kenangnya ke puluhan tahun lalu.
Sebelum jadi pemimpin dayah di Cot Girek, Teungku Abdullah adalah orang yang sangat dekat dengtan dunia dirgantara. Bergelutnya Abdullah Hasan di dunia dirgantara berawal ketika ia diterima bekerja sebagai teknisi PT Garuda Indonesia di tahun 1960. “Saya tak banyak paham soal permesinan. Tapi, saya mengerti secara otodidak soal mesin pesawat. Jadi, saya diterima.”
“Senang sekali, menjadi orang Aceh yang bisa menerbangkan pesawat,” tutur Abdullah Hasan. Dari situlah ia belajar menerbangkan burung besi bernama Dakota. Rutenya Jakarta ke Medan, Jakarta ke Papua.
Bahkan, untuk kepentingan Indonesia, dia pernah menerbangkan pasukan TNI ke Papua dan daerah lainnya. ”Waktu itu, Garuda bekerja sama dengan TNI. Jadi, pesawat dirgantara juga ikut menyuplai pasukan TNI ke daerah-daerah,” ujarnya.
Abu, panggilan akrabnya, menghabiskan delapan tahun bekerja di penerbangan sebagai teknisi. Waktu itu, jumlah pilot Garuda Indonesia masih bisa dihitung jari. Terkadang teknisi juga diperbantukan menerbangkan pesawat.
Letih di Garuda, Abu kembali ke Aceh. Misinya tak lain, mengemban misi religi. Mendirikan dayah di pedalaman Aceh Utara. Tidak mudah mendirikan dayah di tahun 1989. Masyarakat di Cot Girek kala itu masih enggan dengan metode ceramah agama.
Abu pun menggunakan metode zikir. Dia mengajak masyarakat berzikir, setiap Minggu malam. ”Kalau berzikir mereka mau. Kalau metode ceramah agak bosan. Saya gunakan zikir. Ternyata, jumlah jamaah zikir, semakin banyak. Ini membuat saya semakin yakin mendirikan dayah,” kata Abu.
Bukan itu tantangan dihadapinya. Kala itu, teman-temannya sering kali membujuk Abu bekerja di pemerintahan. Namun, pria ini enggan. “Saya cukup di sini saja. Saya senang hutan dan alam. Ini membuat saya betah.” Begitulah alasan Abu menolak ajakan teman-temannya.
Bahkan, teman akrabnya Syamsuddin Mahmud, mantan Gubernur Daerah Istimewa Aceh era pertengahan 1990-an, pernah mengajaknya duduk mengomandoi salah satu dinas di Pemerintahan Aceh. Namun, Abu menolak ajakan itu dengan halus.
“Waktu itu, saya bilang, kalau mau bantu saya, sumbangkan saja gedung untuk dayah ini. Saya dengan Pak Syamsuddin Mahmud itu teman, sama-sama di Asrama Foba di Jakarta. Saya tamatan SMA. Pak Syamsuddin lanjut ke perguruan tinggi,” kenangnya.
Syamsuddin Mahmud pun berkunjung ke Dayah Nurul Iman yang dipimpinnya. Syamsuddin menyumbang satu gedung berukuran 10 kali 25 meter untuk mendukung pengembangan dayah.
Kesungguhan mantan pilot itu memimpin dayah patut diacungi jempol. Bersih. Tidak selembar kertas pun berserakan di halaman dayah. Hasilnya, dayah pimpinannya meraih juara satu dayah tebersih tahun 2007 dari Pemerintah Aceh.
Abu juga tak segan mencabut rumput bersama 236 santri. “Saya selalu bilang ke teman-teman, kalau mau bantu saya, ya sumbangkan buku, gedung atau hal lain untuk dayah ini. Tak usah saya diajak duduk di pemerintahan,” katanya.
Kini, Abu menghabiskan hari tuanya dengan mengajar. Walau sudah 20 tahun, baktinya untuk dayah belumlah cukup. Ia ingin menerbangkan Nurul Iman ke puncak kemasyhuran. Menghasilkan alumni berkualitas, mampu membangun Aceh.[masriadi sambo]
DULU, kita jauh. Tak sama, dan tak dekat sama sekali. Dulu, waktu menjadi penghalang. Kutabung uang ribuan, untuk meneleponmu. Butuh waktu satu minggu menabung, baru bisa mendengar suaramu. Katamu, tak apa, toh kamu mencintaiku. Tapi, ketika aku hadir di depan mu. Kamu berpaling. Seolah tak kenal sama sekali. Membuang wajah, Seakan aku najis yang bau. Jijik untuk mendekat. Ya, aku bukan siapa-siapa. Hanya mahasiswa pengangguran, semester awal. Aku anak kampung, yang mencoba keberuntungan di kota.
Waktu berputar empat tahun kemudian. Aku sudah melupakanmu. Aku membuang muka bila melihat kamu. Ngilu menusuk jantung, bila melihat senyum sumringahmu. Kuhentikan mencari informasi tentangmu. Kuhentikan semua kenangan. Membungkusnya dan meletakkan di langit, bila bulan terang, aku hanya mengenangmu. Tak ingin berpikir, mencari, lebih-lebih memilikimu.
Sontak nafasku ingin berhenti, ketika satu siang, di awal September membaca pesan singkat. ”Ini Iros. Cuman mau minta maaf. Karena tau, Iros banyak salah sama kamu,” kalimatku tertera jelas di layar hanphone. Tak percaya aku pada mataku yang minus ini. Aku pastikan lagi, benarkah itu kamu.
”Ya, ini Iros. Emang, banyaknya Iros yang dikenal,” jawabmu.
Wah, aku mengenal beberapa perempuan bernama sama. Jujur, awalnya, aku berpikir itu bukan kamu. Tapi, aku merasa tak ada yang salah. Hanya, waktu yang salah. Mempertemukanku denganmu ketika aku tak memiliki apa-apa. Tak punya pekerjaan, lebih-lebih uang yang berjubel.
Hatiku goyah. Ditengah seluruh kesibukanku, aku masih menerima layanan sms-mu. Menemuimu sekali waktu. Katamu, kamu suka pantai itu. Ya, pantai dimana kita kenal, sepuluh tahun lalu. Pantai yang membuatku suka dan amat tergila padamu. Pantai itu pula menjadi tempat favoritmu. Katamu, sekadar membuang suntuk dan penat dengan rumus-rumus teknik sipil.
”Baru aja duduk, udah ada yang telepon. Sibuk sekali ya Pak,” katamu, ketika kita duduk kembali di pantai itu. ”Kalau aku sibuk, mana mungkin aku duduk dengan kamu. Mana mungkin pula, aku bisa ada waktu bersamamu,” jawabku sekenanya.
Waktu berputar begitu cepat. Aku pikir, hatiku harus jujur. Aku tak mungkin menipu diri. ”Aku sayang kamu,” kataku. ”Aku udah punya pacar. Masalahnya tak sesederhana itu. Aku mencintai pacarku. Kami pacaran sudah lama. Aku sangat mengasihinya. Semua waktu dan pengorbananku sudah banyak,” jawabmu.
”Ya, jika kamu berubah pikiran. Kamu bisa hubungi aku. Ulang tahunku, aku tunggu kamu,” kataku. Berlalu meninggalkan mu. Ya, membiarkanmu menikmati pantai. Entah memikirkanku, atau memikirkan pacarmu. Tapi jujur, perasaan tak pernah bohong. Aku merasa kamu tak akan kembali. Aku punya firasat itu. Dan, aku bersyukur pada Tuhan, firasatku tak pernah salah. Kalau salah pun hanya dua puluh persen.
”Ah, kamu ini seperti paranormal,” jawabmu. Aku tau kamu galau untuk memilih. Kamu ingin segera menikah. Sedangkan aku, berpikir sebaliknya. Menikah bukan soal hati saja. Tapi, juga soal mempersatukan dua keluarga, yang berbeda adat dan budaya.
”Kalau tak ada kepastian, Iros tak mau,” ujarmu, di satu sore, ketika senja mulai temaram. Teh dan pisang goreng hangat di atas meja, menjadi santapan yang seharusnya lezat menjadi hambar. Aku tak bisa nikmati sore itu dengan nyaman. Sodoran pertanyaan menikah tak mudah dijawab, hanya dalam hitungan menit. Bahkan, tak akan bisa kujawab dalam delapan bulan sekali pun. Ini soal dua keluarga. Bukan hanya soal cinta seperti cintanya para anak baru gede (ABG).
*** ”Dim, kamu jangan beri waktu gitu sama dia. Dia tak bisa memilih. Dia butuh waktu,” kata Tri temanmu. ”Ya, aku juga tak bisa memberi waktu banyak. Hidup adalah pilihan Tri. Kalaulah dia memilihku, syukur. Kalau tidak, ya artinya aku bukan orang yang dicintai. Dan, aku siap untuk itu. Cinta sejati itu cuman untuk satu orang Tri. Mungkin, aku tak masuk kategori itu dari dia,” jawabku.
Keesokannya, matahari memuncratkan cahaya surga. Indah sekali. Penatku pagi ini seakan hilang. Umurku sudah bertambah. Kata orang-orang memang sudah layak menikah. Sudah 24 tahun. Tapi, ya, butuh waktu untuk memikirkan persoalan sakral, menikah. Kuhubungi beberapa teman dekat untuk menghadiri syukuran ulang tahunku. Ya, hanya teman yang kuanggap dekat. Teman yang memberi kontribusi berbagai bidang. Di pantai itu, pantai tempat aku bertemu kamu, di situ aku ingin mengakhiri semua masa keraguanku. Masa pembuktian, apakah kamu memang milikku. Aku undang kamu, dua hari sebelum ulang tahunku.
”Insya Allah, aku hadir,” katamu. Jawaban ini kupikir akan mematahkan firasatku. Namun, ketika jarum jam berdentang dua belas kali, siang itu, aku tak melihat batang hidungmu, senyummu, dan kamu. Yang ada, hanya teman-temanku. Aku berusaha tersenyum. Seakan bahagia. Dan, saat itu aku pikir, bahwa kamu telah tiada. Aku tak akan berharap lagi.
Ya, 15 Desember ulang tahunku. Kamu tak hadir, dan aku tak bisa berkata apa-apa. Sebulan sudah waktu itu berlalu. Aku bahkan sudah tak ingat kamu lagi. Namun, malam ini, entah mengapa kamu menghubungiku. Merasa terganggu, ya. Tapi, dilain sisi, aku juga kangen kamu. Ya, perdebatan batin dan prinsip. Kamu katakan, hubunganmu dengan pacarmu telah berakhir. ”Dim, aku tak bisa menahan semua ini. Baru-baru ini hubunganku berakhir. Aku sedih,” katamu.
Ah, ada apa ini. Malam ini, aku tak bisa tidur. Aku memikirkanmu. Bajingan benar lelaki yang menyakitimu. Tapi, itu pilihanmu. Hidup adalah pilihan. Dan, aku bukan siapa-siapa, tak memiliki apa-apa. Kegalauan membekapku. Inikah cinta? Entahlah. [Masriadi Sambo]
Kalau tak kenal sama Om Bah, berarti tak kenal bendera Merah-Putih”. TIDAK ada kaitan antara sosok tua ini dengan bendera negara Indonesia yang berdaulat. Tapi, begitulah orang-orang memberi deskripsi tentang Bachtiar Benu Arifin.
Pecinta sepak bola di Lhokseumawe dan Aceh Utara pasti kenal sosok satu ini. Bachtiar Benu Arifin namanya. Ia biasa dipanggil Om Bah. Tapi, kesetiaan dan dedikasinya untuk sepak bola membuat ia populer dengan panggilan unik. Sampai sekarang, di hari tuanya, ia dipanggil Camat Bola.
Ia punya cerita panjang, tentang alasan mengapa ia lebih dikenal dengan nama Camat Bola.
Om Bah terjun ke dunia sepak bola sejak belajar di SMP Negeri 1 Lhokseumawe, 1960 silam. Saat itu, dia mulai dari klub amatiran di sekolahnya. Karena gerakannya lincah, Bachtiar muda dipercaya di posisi paling sulit dalam sepak bola, sebagai gelandang serang. Inilah tantangan pertamanya.
Tapi, di kaki Om Bah bola jinak juga. Dia menghasilkan gol-gol indah setiap kali bertanding. Dia bahkan memberi andil besar bagi klub sekolahnya. Waktu itu, SMP Negeri 1 Lhokseumawe menjadi juara sepak bola tak terkalahkan di Aceh Utara.
Tiga tahun kemudian, dia masuk SMA Negeri 1 Lhokseumawe. Saat itu, tak ada tim sepak bola di sekolahnya. Dia pun berlatih di Klub Rajawali, Lhokseumawe. Setahun kemudian, ia hijrah ke Persatuan Sepak Bola Aceh Timur (Persati) di Langsa. Saat itu, Persati tim terhebat di Aceh.
“Waktu itu Persati itu tim tak terkalahkan. Nomor satu di Aceh. Tapi, kalau bertanding di luar, kami selalu dikerjain wasit,” kenangnya. Lawan terberat Persati saat itu, PSDS Deli Serdang dan PSMS Medan. Keduanya menjadi musuh bebuyutan.
Kepiawaian Om Bah bermain bola membuat PT Perkebunan Nusantara (PTPN) I Langsa kepincut. Perusahaan itu bahkan tidak rela Om Bah pulang ke Lhokseumawe. Dia direkrut dan dipekerjakan di perkebunan sawit milik pemerintah tersebut.
“Saya tidak bekerja. Kerjaan saya, ya cuma main bola,” katanya.
Dia kembali ke Lhokseumawe 1965. Om Bah langsung diusung menjadi punggawa tim sepak bola Aceh untuk Pekan Olahraga Nasional (PON). Tapi, event olah raga terakbar se-Indonesia ini gagal. Pemberontakan PKI meletus. Om Bah pun sibuk turun ke jalan untuk menentang hadirnya paham komunis.
“Gagal berangkat ke PON. Saya ikut demonstrasi bersama teman-teman,” ujarnya.
Pada 1972, dia masuk untuk memperkuat Aceh pada PON kesembilan di Surabaya. Tapi, Om Bah tidak beruntung. Aceh bertemu Surabaya, tim terhebat di Indonesia. “Kami kalah. Lawannya Padang dan Surabaya, tim hebat Indonesia zaman itu,” sebutnya.
Usai PON, dia kembali ke Lhokseumawe. Setelah resmi mengundurkan diri dari PT Perkenunan Nusantara I, Om Bah bekerja sebagai staf di Kantor Camat Banda Sakti, Lhokseumawe, selama dua tahun. Pada 1974, dia kuliah di Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) Banda Aceh.
“Selama kuliah, saya hanya sekali main bola. Unsyiah Cup. Waktu itu, APDN menang. Senang sekali saya, setelah lama tidak main bola,” kenangnya.
Pada 1978, ayah dari tiga putri ini kembali bekerja di Lhokseumawe. Dia menjadi kepala bidang dan berlanjut sekretaris di kantor kecamatan, selama 14 tahun. Baru pada 1995 ia diangkat menjadi Camat Blang Mangat.
Dalam posisinya sebagai camat, ia masih berulangkali menjadi pelatih PSLS Lhokseumawe. Melalui tangan dinginnya, PSLS dua kali lolos ke putaran nasional Kompetisi Divisi Dua PSSI setelah merajai kompetisi di Aceh.
Kecerahan karir Om Bah di sepak bola juga berjalan seiring dengan karirnya di pemerintahan. Ia terakhir memangku jabatan sebagai Asisten Pemerintahan dan Tata Praja Pemerintah Kota Lhokseumawe.
Sejak menduduki jabatan itu, dia hanya menjadi penikmat sepak bola. Dia sibuk bekerja, hingga pensiun pada 1 Januari 2006 lalu. Kini ia dipercaya menjabat ketua PSSI Lhokseumawe.
Begitulah perjalanan hidupnya, hingga orang-orang mengenalnya sebagai Camat Bola. Bersama istri tercintanya, Hafnidar, kini pahlawan sepak bola kota gas itu menghabiskan masa tuanya di rumah mereka, di Desa Hagu Barat Laut, Lhokseumawe. [dimas]
SEKILAS, catatan kenangan yang ditinggalkan waria bernama Mahmuddin hanya tentang tingkah kemayu dan asmara terlarang sesama jenis. Tapi, di balik itu, sungguh ia juga manusia yang punya hati.
Di kalangan remaja di Lhokseumawe, Udin cukup populer. Ia dikenal sebagai waria suka bersahabat. Rumahnya di Jalan Dusun Purnama, Gampong Jawa Baru, Banda Sakti, Lhokseumawe nyaris tak pernah sepi dari keceriaan. Teman-temannya menjadikan rumahnya tempat berkumpul. Waria itu ramah.
Tapi, kini semua itu tak akan pernah terjadi lagi. Rumah berlantai dua miliknya kini sepi. Udin tewas menggenaskan dengan 21 tusukan pisau di tubuh dan lehernya. Ususnya terburai. Ia menjadi korban cemburu asmara sesama jenis.
Heriyadi, kekasih Udin, dibantu kekasih gelapnya Heri Kurniawan, membantai waria itu. Kabar meninggalnya Udin menyebar luas ke seluruh penjuru kota. Seorang teman Udin, Andre, warga Kampung Jawa Baru, mengatakan dia tahu lewat media massa bahwa Udin telah meninggal dunia. “Saya terkejut. Ada teman kirim SMS, bilang ada berita pembunuhan Udin. Saya baca. Kejam sekali pelakunya,” kata Andre.
Andre mengenal Udin dua tahun lalu. Menurutnya, Udin baik. Dia nakal pada kaum laki-laki yang ia suka. Tapi, pada orang yang sudah menjadi temannya, Udin tak mau bergenit-genit ria.
“Tidak semua orang diganggunya. Dia itu baik,” kata Andre. Teman Udin lainnya, Nuhayani, mengakui Udin punya sifat cemburuan. Tapi, waria itu juga tak pelit. Jika ada uang, dia suka mentraktir semua teman-temannya untuk makan malam atau sekadar minum di café.
Udin suka jalan-jalan sore, katanya. Mengelilingi Kota Lhokseumawe dengan teman-temannya. “Kalau nggak jalan-jalan sore, dia pusing. Begitu katanya,” ujar Nurhayani.
Udin menyisakan kenangan tersendiri bagi teman-temannya. Banyak yang mencela, juga bangga pada kemandirian dan kebaikannya. Tapi, Udin telah pergi jauh. Ia tak akan kembali. [masriadi sambo]
PAGI itu, ratusan orang memadati halaman Masjid Al Azhar, Desa Pusong Baru, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe, Ahad (11/1). Di situ, 17 korban kekerasan aparat keamanan di Gedung KNPI Aceh Utara, Jalan Iskandar Muda, Lhokseumawe berkumpul. Ratusan keluarga korban lainnya juga hadir.
Mereka hanyut dalam lantunan zikir. Berikutnya serentak menengadahkan tangan. Berdoa agar suami, adik, abang dan ayah mereka yang menjadi korban peristiwa berdarah Gedung KNPI diampuni dosanya. Insiden itu terjadi tanggal 3 Januari 1999 silam. Saat itu, status daerah operasi militer (DOM) baru saja dicabut satu tahun. Saat itu, puluhan aparat keamanan datang ke Desa Pusong, untuk menggerebek Gerakan Aceh Mereda (GAM).
Namun sejumlah masyarakat sipil ikut ditangkap dan dibawa ke Gedung KNPI. Lalu, tanggal 9 Januari 1999 juga terjadi hal yang sama. Aparat keamanan melakukan sweeping dalam rangka memburu pentolan GAM, Ahmad Kandang. Beberapa masyarakat sipil juga menjadi korban. Data dari K2HAU menyebutkan, dari tanggal 3-9 Januari sebanyak 73 warga sipil meninggal dunia di Gedung KNPI Aceh Utara.
“Lon lakekeadilan (Saya minta keadilan),” ujar Nurhayati (38 Tahun). Ibu tiga orang anak ini tidak mengalami langsung kekerasan itu. Namun suaminya, Abdullah Sani Abidin disiksa di Gedung KNPI.
Pagi itu dia datang bersama putranya, Muhammad Nadir (11 Tahun). Nadir terkena tembakan di pergelangan kakinya. “Anak saya ini digendong ibu saya (Neneknya Nadir) di depan Pendopo Bupati Aceh Utara tanggal 9 Januari, pukul 08.30 WIB. Tiba-tiba terdengar suara senjata. Nadir, kena di kaki. Pelurunya tembus, dan neneknya Nadir, terkena peluru yang tembus itu,” kenangnya melambung ke sepuluh tahun silam.
Kontan Ti Aminah (neneknya Nadir) meninggal dunia. Nadir yang kala itu berusia 11 bulan, jatuh ke aspal. Kakinya tembus timah panas. Dia menangis sejadinya. Tak ada yang peduli. Suasana kota sangat kacau. Semua orang berlarian menyelamatkan diri dan aparat keamanan terus melepaskan tembakan. Usai letusan senjata, Nadir dibawa ke Rumah Sakit Cut Mutia. Kakinya dioperasi.
“Manteung saket bak gaki lon (masih terasa sakit di kaki saya),” kata Nadir, ditemui Independen, dalam acara tersebut.
Hingga saat ini, Nurhayati, sulit melupakan insiden yang terjadi 3-9 Januari 2009 itu. Dia terpaksa meminjam uang tetangga, untuk melakukan operasi kaki putranya Muhammad Nadir. Nadir memperlihatkan kakinya, bekas jahitan masih terlihat jelas.
“Saya berharap, kami mendapatkan hak kami. Sekarang ini, untuk biaya berobat saja tak ditanggung pemerintah. Saya juga minta, agar kasus ini diselesaikan sampai tuntas,” ujar Nurhayati.
Ibu tiga orang anak ini tak kuasa menahan tangis. Dia kehilangan ibu kandungnya, Ti Aminah. Suami dan anaknya cedera. Kini, Muhammad Nadir, duduk di bangku kelas lima, SD Negeri 20 Pusong Baru, Lhokseumawe. “Keadilan harus ditengakkan, pemerintah harus bentuk KKR seperti amanah MoU. Agar, bumi ini bisa adil pada kaum lemah,’” harap Nurhayati.
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) memang menjadi amanah MoU Helsinki. Komisi ini yang akan menangani persoalan pelanggaran HAM yang terjadi di Aceh. Namun, untuk provinsi komisi ini belum bisa dibentuk. Dalihnya, di tingkat pusat saja, Rancangan Undang-undang KKR gagal disahkan akhir tahun 2007 lalu.
Ketua Komunitas Korban Hak Azasi Manusia Aceh Utara dan Lhokseumawe (K2HAU) Murthalla, menyebutkan, harus dimulai dari sekarang pembentukan KKR. “Pemerintah Aceh, Irwandi-Nazar, hingga kini belum terlihat serius untuk KKR. Harusnya bisa dilakukan, dan didesak agar pemerintah pusat membentuk KKR. KKR solusi keadilan untuk korban konflik,” kata Murthalla.
Dia menghimbau, agar seluruh korban pelanggaran HAM di Aceh tidak jenuh memperjuangkan nasib mereka. Menuntut keadilan, dan menuntut pelaku kejahatan HAM tersebut.
Murthalla, Nurhayati dan Muhammad Nadir, terus berharap agar KKR segera disahkan. Agar keadilan tak hanya slogan. Mereka terus berjuang, menunggu keadilan turun dari langit. [masriadi sambo]
SAMBINO termangu duduk di depan rumahnya di Desa Trieng Pantang, Kecamatan Lhoksukon, Aceh Utara. Wanita ringkih berusia 60 tahun ini tersenyum menerima kedatangan Independen, Selasa (6/1).
“Nyo keuh udep lon (Inilah hidup saya, Red). Tak ada yang peduli,” kata Sambino. Matanya nanar menatap sekeliling rumah. Ia hidup sendiri sejak dua puluh tahun lalu. Suaminya meninggal dunia karena sakit.
Ibu satu orang ini, tak kuasa menahan air mata. Rumah itu berdinding bambu yang dibelah-belah. Atap rumbia yang dipasang sudah bocor. Tak mampu menahan sinar matahari. Kondisi itu telah dialami wanita tua itu sejak lima tahun terakhir.
Penderitaan wanita ini belum usai. Tepat tahun 2004, putri semata wayangnya, Samiyah (30 Tahun) mengidap lumpuh separuh badan. Badannya sulit untuk digerakkan. “Sebelah badan anak saya mati rasa. Dia tak bisa merasakan apa-apa. Dia lumpuh,” terang Sambino. Perihnya lagi, suami Samiyah pergi entah ke mana. Meninggalkan penderitaan istrinya sendiri.
Kini, putri semata wayangnya itu menetap bersama Sambino. Sebagian dinding rumah ditempel dengan daun kelapa yang telah dianyam. Rumah itu hanya berukuran, 3 x 4 meter. Di situlah, Sambino menghitung hari. Untuk membiayai hidupnya, dia bekerja ala kadar pada warga setempat.
“Sekarang saya agak senang, karena anak saya sudah lumayan. Sudah mulai bisa menggerakkan badannya,” kata Sambino. Apakah menerima BLT (Bantuan Langsung Tunai)? Sambino tersenyum.
Penyaluran BLT tahap awal wanita ini menerima uang Rp 300.000. Uang itu digunakan untuk biaya berobat putrinya, juga untuk kebutuhan dapur. Anehnya, bantuan BLT tahap dua, Sambino tidak menerimanya. “Saya hanya menerima sekali. Saya tidak tahu, kalau ada bantuan untuk kedua kalinya.
Ya, sudahlah. Orang tua seperti saya ini mudah ditipu-tipu,” ujarnya lirih. Setelah itu, hingga kini dia tidak menerima bantuan apa pun dari Pemerintah Aceh Utara. BLT telah berlalu. Tahun 2006 silam, pekerja yang mengaku dari Dinas Pemberdayaaan Masyarakat dan Bina Sosial (PMBS) Aceh Utara pernah datang. “Awak nyan peugah neuk bri rumoh bantuan keu lon.
Tapi, sampoe jinoe hana. (Mereka bilang, mau beri rumah bantuan untuk saya. Tapi, sampai sekarang tidak ada, Red),” katanya. Dia ingin menghabiskan masa tua di rumah layak. Namun, dia tak kuasa. Tak memiliki dana untuk merehab rumahnya. Entah sampai kapan, ia menunggu bantuan untuknya. [masriadi sambo]
SOSOK mungil, mungkin membuat orang ragu bahwa dara yang satu ini jago mengayunkan raket. Namun, kepiawaiannya melakukan smash dan penempatan shuttlecocks yang jitu kerap menjadikan lawan pontang-panting menahan serbuan dari kibasan lengannya yang atletis.
Siti Ardila Ringusti namanya. Sulung dari dua bersaudara ini sejak kecil menggemari olahraga bulutangkis. Ya, gadis yang satu ini pantang membiarkan raket menganggur tergantung di dinding rumahnya. Nyaris saban petang ia melakoni olahraga yang konon berasal dari negeri tirai bambu ini.
“Saya ini belum ada apa-apanya. Saya masih banyak belajar,” ujar Ringusti, panggilan akrabnya saat ditemui Independen, pertengahan pekan kemarin. Beruntung bagi Ringusti, hasratnya bermain bulutangkis mendapat restu penuh dari kedua orangtuanya. “Olahraga itu bisa meminimalkan kenakalan remaja, begitu kata orangtua,” celotehnya sembari tertawa.
Bakatnya di cabang olahraga bulutangkis memang sudah terlihat sejak kecil. Dia juga tercatat sebagai atlet bulutangkis Aceh Utara sejak tahun 2001. Setahun kemudian, Ringusti mengikuti turnamen bulutangkis usia dini se-Aceh dan sukses menggondol medali perunggu. Prestasi ini juga membuatnya menerima beasiswa Sampoerna Foundation (SF) plus memecutnya untuk meraih hasil yang lebih baik lagi. ”Saya belum puas. Saya terus berlatih,” ujar Ringusti.
Tahun 2004 silam, ia kembali turun dalam turnamen bulutangkis putri se-Aceh. Ringusti belum beruntung, dia hanya mampu menduduki juara tiga saat itu. Namun, usaha kerasnya akhirnya memberi bukti. Di tahun 2005, Ringusti berhasil menjadi kampiun turnamen yang sama.
Siswa SMA Negeri 1 Tanah Jambo Aye ini pun mulai menempa kemampuannya kian intensif. Tak hanya itu, penggemar Susi Susanti ini sering memperhatikan gaya bertanding atlet bulutangkis internasional. Liliana Natsir, menjadi salah satu pemain Indonesia favoritnya.
Ringusti kembali mengejutkan dunia bulutangkis Aceh. Pada Pekan Olahraga Pelajar Daerah (Popda) X di Bireuen baru-baru ini dia kembali mendulang medali emas di nomor tunggal putri. ”Saya tak pernah turun ganda. Saya selalu tunggal. Lebih leluasa,” ungkap Ringusti.
Lagi-lagi, prestasi ini membuatnya mendapat beasiswa dari Sampoerna Foundation. Sayang, pada Popwil se-Sumatera yang digelar di tahun yang sama, nasib belum berpihak padanya. Ringusti kalah dan gagal mempersembahkan medali untuk Aceh Utara.
Lalu, bagaimana pandangan Ringusti terhadap minat pelajar Aceh terhadap bulu tangkis? ”Wah, banyak faktor kenapa pelajar kurang suka bulutangkis. Sarana dan tempat latihan tak ada. Jadi, bagaimana mau latihan. Perhatian pemerintah terhadap atlet berprestasi juga rendah sekali. Ini mungkin, yang membuat teman-teman pelajar lain enggan terjun ke bidang olahraga,” sergahnya diplomatis.
Ringusti berharap agar Pemerintah Aceh dan Pemkab Aceh Utara memberikan perhatian serius terhadap atlet berprestasi serta melakukan pembinaan yang mapan. Sehingga, para olahragawan di Tanah Rencong menjadi atlet-atlet andalan dan siap mempersembahkan medali bagi Aceh dan Indonesia.
Meski begitu, gadis cilik yang bercita-cita menjadi dokter ini berharap bisa eksis pada cabang bulutangkis.
”Ini bukan saja hobi. Bagi saya, bulutangkis sudah mendarah daging. Saya sangat menikmati olahraga ini. Namun, saya juga ingin suatu saat menjadi dokter. Itu tugas yang mulia,” cetusnya.
Lho, kenapa ingin jadi dokter? “Kalau jadi dokter, nanti para atlet yang ingin berobat biayanya bisa discount,” tukas Ringusti sambil tersenyum. [masriadi sambo]
LAKON hidup Basiyah dan Sawaliyah dalam belasan tahun terakhir tak pernah ruwet. Hanya tentang dua wanita tua penganyam atap rumbia, yang punya beban hidup dalam versi masing-masing.
Tapi, kisah mereka menjadi contoh, tentang orang-orang yang tak pernah menyerah. Dari pagi hingga petang, Basiyah dan Sawaliyah menghabiskan lebih setengah waktu untuk menyulap daun-daun rumbia menjadi atap. Pekerjaan itu membuat mereka tetap bertahan terjepit antara dua sisi hidup; miskin dan terbelakang.
“Ini sudah kami kerjakan sejak lama,” ujar Basiyah, wanita berusia 60 tahun. Diiyakan pula Sawaliyah, sahabat yang tujuh tahun lebih muda darinya.
Dua perempuan tua Desa Alue Buloh, Kecamatan Simpang Ulim, Aceh Timur ini sudah mengenal pekerjaan membuat atap rumbia sejak kecil. Tangan-tangan cekatan mereka mewarisi keahlian serupa dari generasi sebelumnya, ayah dan mungkin juga diturunkan kakek nenek. “Sejak kecil kami sudah bisa menganyam rumbia,” kata Sawaliyah.
Ritme pekerjaan dua gaek ini sama persis setiap hari, pagi dan petang, berulang-ulang. Membuat atap itu dimulai dengan memilih daun, menatanya sejajar, lalu dijahit dengan rotan bersilang pada tulang bambu. Sentuhan akhir tangan-tangan keriput itu hanya menjemur dan membersihkan atap-atap yang sudah jadi.
Cuma omongan dan guyonan yang membuat sepasang perempuan ini tak bosan bada daun rumbia dan bilah-bilah bambu. “Kalau tak bercanda, cepat lelah,” ujar Sawaliyah lagi. Mereka biasanya bercerita tentang apapun; bentangan hijau sawah, hujan dan banjir, tentang anak-anak, obsesi hari tua dan sedikit nostalgia.
Bercanda dan tertawa ketika menganyam atap hanya kedok, kamuflase yang menutupi kegundahan mereka akan sulitnya hidup.
Basiyah memiliki segudang beban. Kadang terlalu berat untuk dipikulnya sendiri. Suaminya yang kini berusia 65 tahun, Ahmad, mengidap penyakit rematik akut sejak dua tahun silam. Ahmad tak bisa lagi mencari nafkah. Maka, peran ibu dari tiga anak pengangguran itu tak jauh berbeda dari kepala keluarga. Ia seorang ibu, sekaligus ayah.
“Suami saya, masih mencoba bekerja semampunya. Tapi, sering tak bisa. Tulangnya sakit kalau terlalu dipaksakan bekerja,” kata Basiyah.
Hidup versi Sawaliyah adalah kisah tentang wanita sepuluh tahun menjanda dengan tujuh anak; empat putra, tiga putri. Sebagian anaknya telah berkeluarga dan menetap di desa lain di Aceh Timur. Anak-anaknya juga miskin, tak bisa diharapkan untuk menjadi penopang keluarga.
Kemiskinan membuat Sawaliyah mengikuti jejak Basiyah, mengumpulkan receh-receh uang hasil menganyam atap rumbia. “Dalam sehari, kami bisa menganyam 40 lembar atap rumbia. Rumbia itu kami jual ke agen,mulai Rp8.000 sampai Rp10.000 per lembar. Hasilnya kami bagi dua,” ujarnya.
Ada pekerjaan lain untuk sepasang perempuan tua ini. Mereka rutin menjadi buruh tani, pekerjaan musiman yang hanya ada ketika sawah-sawah mulai digarap dan dipanen.
Basiyah dan Sawaliyah bukan tak ingin mencoba pekerjaan lain, yang mungkin lebih ringan; membuat kue-kue atau berjualan di warung kecil di kampung.
Tapi, mereka tidak punya modal. Bantuan pemberdayaan ekonomi, yang belakangan gencar mengalir dari pundi-pundi pemerintah, belum juga menyentuh mereka. [masriadi sambo]
DHEBIT Desliana, sibuk membenahi perahu miliknya di Desa Kampung Jawa, Kecamatan Banda Sakti, Kota Lhokseumawe. Saban minggu, nelayan yang menggunakan ketek ini, terpaksa memperbaiki perahu miliknya.
Dia sudah mengusulkan bantuan pada Dinas Perikanan Kota Lhokseumawe, 28 November 2007 dengan nomor register proposal 250/01/KB/H65/2007. Awalnya, disebutkan akan mendapat bantuan tahun 2008. Namun, hingga kini bantuan itu tak kunjung datang.
Dhebit hanya satu cerita di antara sekian banyak cerita nelayan kecil yang ingin mendapatkan bantuan. Mereka harus mengarungi lautan dengan perahu seadanya. Menantang bahaya di tengah gelombang laut yang kadang berubah ganas.
Selama tahun 2008, Dinas Perikanan Lhokseumawe memang memberikan bantuan jaring, keramba, komputer, satelit dan rumpon kepada sejumlah nelayan. Namuan baru beberapa nelayan yang mendapatkan bantuan tersebut.
Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Lhokseumawe, T Rudi Fattahul Hadi, menyebutkan, masih banyak nelayan yang tidak mendapatkan bantuan. Pasalnya, bantuan yang disalurkan kepada nelayan langsung dilakukan dinas terkait.
Tidak berkoordinasi dengan lembaga-lembaga yang menjadi wadah para nelayan. “Seharusnya ada koordinasi antara Dinas Perikanan dengan Panglima Laot, HNSI dan lembaga lain yang menjadi wadah nelayan,” katanya, Kamis (1/1).
Anehnya lagi, tambahnya, Walikota Lhokseumawe, Munir Usman, yang didukung penuh oleh masyarakat nelayan ketika mencalonkan diri sebagai walikota, belum memberikan perhatian serius untuk masyarakat nelayan.
Saat itu, pasangan Munir Usman- Suadi Yahya, unggul mutlak di perkampungan nelayan di Kecamatan Banda Sakti, Muara Satu dan Kecamatan Blang Mangat. “Tahun 2009, walikota idealnya memberikan perhatian pada masyarakat nelayan. Ya, mengingatkan kembali dinas terkait agar konsen terhadap persoalan nelayan,” kata Rudi.
Selain masalah bantuan, nelayan seringkali bingung cara mengurus Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI) di Kota Lhokseumawe. Sosialisasi tentang aturan penangkapan ikan masih minim di kota itu.
“Sekarang ini, sangat sedikit sekali sosialisasi tentang SIPI yang diberikan oleh Dinas Perikanan. Seharusnya, intensip. Sehingga, nelayan bisa mengetahui, cara mengurus SIPI dan lain sebagainya,” kata Rudi.
Karena ketidaktahuan nelayan mengurus SIPI, tiga orang nelayan asal Lhokseumawe, Zulkifli Ahmad, Chaidir Husen dan M Jamal terpaksa berurusan dengan pengadilan.
Mereka ditangkap karena mengantongi SIPI yang dikeluarkan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Kabuapten Bireuen. Mereka divonis 18 bulan penjara dan denda Rp 50 juta oleh Pengadilan Tinggi Banda Aceh. Kini mereka naik banding ke Mahkamah Agung di Jakarta terhadap putusan itu.
Persoalan pukat harimau juga menjadi kendala bagi nelayan di Lhokseumawe. Umumnya, pukat harimau itu berasal dari Thailand, Belawan, Sumatera Utara, dan Idi, Aceh Timur.
Pukat harimau asal tiga daerah itu yang sering menangkap ikan dengan pukat harimau. Pukat ini menghabiskan ikan kecil dan besar diperairan Lhokseumawe. Biasanya, pukat harimau beroperasi sejak Januari hingga Februari setiap tahun.
“Pemerintah harus tegas. Dinas ini yang harus ditindak. Persoalan pukat harimau bisa memicu konflik parah antar nelayan kecil dan besar. Nelayan kecil pasti kalah soal ini. Mereka hidupnya pas-pasan, untuk itu dinas harus menangkap pukat harimau itu,” terang T Rudi.
Saat ini, tercatat sebanyak 4.000 nelayan kecil beroperasi di perairan Lhokseumawe dengan 80 nelayan yang menggunakan pukat langga dan ratusan nelayan yang menggunakan boat kecil.
Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan, Perikanan dan Pertanian Lhokseumawe, Marzuki Idris, menyebutkan pihaknya telah melakukan sosialisasi kepada para panglima laot di Kota Lhokseumawe terkait teknik dan cara mengurus SIPI. “Kita telah sosialisasikan dengan para Panglima Laot soal cara mengurus SIPI,” kata Marzuki belum lama ini.
Cerita nelayan kurang diperhatikan memang cerita lama yang tetap usang. Jarang terperhatikan, sehingga kesannya masyarakat nelayan termarginalkan. Tahun 2009 nelayan di Lhokseumawe berharap dilindungi, diperlakukan adil dan diberikan suntikan bantuan untuk memperbaiki boat yang rusak. [masriadi sambo]
MORATORIUM logging (jeda tebang hutan) telah dicanangkan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Gerakan ini dinilai sebagai langkah tepat untuk menjaga hutan Aceh agar tetap ”perawan”. Di awal kebijakan itu diberlakukan, sang gubernur turun menyisir hutan, memburu pelaku ilegal logging (penerbangan liar) di seluruh Aceh, termasuk Aceh Utara.
Namun, tampaknya praktik penebangan liar itu terus berjalan. Deru chainshaw, kerap terdengar di daerah pinggiran hutan. Informasi yang dihimpun Independen, praktik ilegal loging masih terjadi di Kecamatan Langkahan, Sawang dan Kecamatan Cot Girek. Tiga daerah ini menjadi penyuplai kayu ilegal terbesar di Aceh Utara. Disusul Kecamatan Pirak Timue, Paya Bakong dan Kecamatan Nisam Antara. Umumnya, kecamatan itu terletak tepat di pinggiran hutan. Sehingga praktik ini sangat mudah dilakukan oleh para pembalak liar.
Kepala Bidang Kehutanan, Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara, M Ichwan, menyebutkan, tiga daerah yang paling menjadi sentral penebangan liar. ”Kecamatan Langkahan, Sawang dan Cot Girek paling parah,” kata Ichwan, Selasa (30/12).
Data dari lembaga Selamatkan Flora dan Fauna (Silfa) Aceh menyebutkan hal yang sama. ”Masyarakat pedalaman kemapanan ekonomi sangat lemah. Sehingga, mereka menganggap menebang kayu, menjadi pekerjaan. Mereka hanya pekerja, sedangkan dalang intelektualnya berada di kota,” kata Direktur Silfa, Irsadi Aristora.
Luas hutan di Aceh Utara hanya 71.000 hektare dari total luas wilayah 329.000 hektare. Artinya kawasan hutan hanya 23 persen dari luas wilayah kabupaten. Idealnya, luas hutan harus mencapai 30 persen dari luas wilayah. Ditambah lagi, dari luas 71.000 hektare itu sebagian besar telah gundul. ”Kondisi hutan ini tentu sangat parah dan memprihantikan. Akibatnya, banjir terjadi dimana-mana. Dan terakhir turunnya gajah liar di beberapa kecamatan. Ini bukti hutan tidak aman lagi. Sehingga gajah pun turun ke kampung,” tegas Irsadi.
Langkah untuk reboisasi juga dinilai lamban dan kurang fokus. Seharusnya reboisasi hutan dilakukan terarah dan tepat sasaran. ”Belum ada perubahan dari pola reboisasi. Seharusnya, daerah mana yang menjadi target, pengawasan, penanaman tidak dilakukan asal asalan. Setelah habis tahun, selesai, pohon itu mati terserah,” ujar Irsadi lagi.
Irsadi menuding, reboisasi bahkan menjadi lahan baru untuk melakukan penebangan ilegal di kawasan hutan di Aceh Utara. Di sisi lain, selama tahun 2008, ia menilai tidak ada kebijakan yang berarti dibidang pengawasan hutan. Pasukan pengamanan hutan (Pamhut) dinilai mandul. ”Pamhut lemah dalam bertindak. Kami bahkan dapat kabar, kalau Pamhut yang dikontrak itu dilarang melakukan penangkapan. Hanya duduk manis, lalu untuk apa merekrut mereka,” terang Irsadi.
Umumnya, untuk mengeluarkan kayu ilegal dari hutan ke pasaran, dilakukan dengan menggunakan truk pada malam hari dan jika siang hari menggunakan becak. Motif lainnya, dari truk kayu ilegal itu diangkut secara cicilan ke panglong kayu tertentu dengan menggunakan becak. Ini untuk mengelabui Polisi, sehingga kesannya, kayu dari becak tersebut bukan kayu ilegal. Karena jumlah kayu yang diangkat sedikit, hanya menggunakan becak, tentu tidak perlu menggunakan segala macam surat izin. Sampai di panglong, kayu ini bukan lagi menjadi kayu ilegal. Dari panglong pula transaksi dengan pembeli digelar.
Irsadi menyebutkan, perlu keseriusan dari Dinas Perkebunan dan Kehutanan Aceh Utara dan aparat penegak hukum lainnya untuk menjaga ”keperawanan” hutan di Aceh Utara. Terkait tudingan tidak diefektifkannya Pasukan Pengamanan Hutan (Pamhut) yang berstatus pegawai kontrak tersebut, Ichwan menyebutkan itu sesuai dengan tugas pokok, dan fungsi (Tufoksi) Pamhut yang disahkan oleh Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf.
Dalam tupoksi, Pamhut bertugas mendampingi polisi hutan untuk melakukan penangkapan kayu ilegal. ”Pamhut hanya bisa menangkap kayu ilegal didampingi oleh petugas Polisi Hutan senior. Artinya penangkapannya bersamaan dengan Polhut. Tidak bisa dilakukan sendiri oleh Pamhut,” kata Ichwan. Saat ini, sebanyak 95 Pamhut bertugas untuk mengamankan hutan di Aceh Utara.
Ichwan mengaku, pihaknya serius menangani pemberantasan penebangan liar di Aceh Utara. Namun, tampaknya hingga saat ini belum ada super hero (pahlawan super) di Aceh Utara untuk memberantas seluruh kejahatan penebangan liar. Pamhut yang diharapkan menjadi Super Hero hanya bisa mendampingi Polhut. Tidak bisa melakukan aksi. Sedangkan, Polhut juga belum bisa berbuat banyak. Ya, entah sampai kapan sang super hero datang ke bumi Sultan Malikussaleh itu, sedangkan hutan terus kritis karena dibabat secara sadis. [masriadi sambo]