HARI, 26 Desember 2012.Sekitar pukul 18.00 WIB, saya menerima pesan singkat dari seorang teman. Isinya mengamarkan, bahwa Amir Gani (53) telah meninggal dunia di Rumah Sakit Kesrem, Lhokseumawe. Sejurus kemudian, saya juga menerima telepon dari seorang teman mengabarkan kabar duka yang sama.
Saya kenal Bang Amir-panggilan akrab-Amir Gani- sekitar akhir tahun tahun 2008, saat itu saya masih menjadi mahasiswa Ilmu Komunikasi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe. Saya kenal beliau secara tidak sengaja di kantor Partai Demokrat Lhokseumawe. Waktu itu, saya baru menjadi wartawan. Dia langsung ramah. Akrab. Jauh dari kesan angkuh.
Bahasanya sangat santun dan lembut. Waktu itu, Bang Amir, bekerja sebagai kontraktor serabutan. Ya, ngurus proyek sejuta dan dua juta. Begitu katanya waktu itu. Lalu, dia meminta pendapat apa yang harus dilakukan untuk membangun Lhokseumawe. Dari sisi mana pengentasan kemiskinan dimulai. Kami pun berdiskusi sekitar dua jam.
Setelah itu, lama tak bertemu politisi yang satu ini. Lalu, pertemuan kami berikutnya di Pasar Lhokseumawe. Saat itu, dia bersam Giral, putra bungsunya. Mengayuh sepeda tua. Dia berbelanja menu buka puasa. Saya sedang motret menu berbuka yang dijual sejumlah pedagang kala itu. Dia menegur saja. Sempat berbicara beberapa kalimat.
Kemudian, pertemuan kami semakin intens ketika dia sudah terpilih menjadi anggota DPRK Lhokseumawe. Sesaat sebelum pelantikan, dia mengirim pesan ke saya. Dia mengatakan mohon masukan, apa yang harus Bang Amir lakukan untuk kemajuan daerah ini.
Saat itu, saya sudah bekerja di Tabloid Kontras. Dia sering bercerita bagaimana pola komunikasi politik antara eksekutif dan legislatif. Misalnya, satu hari dia bercerita tentang peningkatan ekonomi rakyat. Menurutnya, pemerintah belum memiliki pola yang jelas, untuk mengentaskan kemiskinan kota itu. Selain itu, dia juga menggagas lahirnya perusahaan daerah. Dia katakatan, bahwa sebagian aset PT Arun, harus dihibahkan ke Pemko Lhokseumawe. Pemko kemudian mendirikan perusahaan daerah, dan bisa menampung tenaga kerja. Belakangan gagasan ini menjadi perusahaan daerah air minum.
Sekitar empat bulan komunikasi kami intens di tahun 2010. Setelah itu, saya jarang berkomunikasi dengan beliau secara langsung. Hanya menggunakan telepon atau layanan pesan singkat saja. Waktu itu, saya sudah bertugas di Aceh Utara. Bukan di Kota Lhokseumawe lagi.
Dia pula yang kerap kali mengabarkan tentang bagaimana politik anggaran di dewan. Ini isu menarik. Selalu saja mendapat data bulat dari beliau. Lalu, di satu pagi, kami bertemu di Masjid Islamic Center Lhokseumawe. Dia bercerita bagaimana keperkasaan organisasi resimen mahasiswa (Menwa). Dia pernah menjadi anggota aktif dan pengurus Menwa di Universitas Syah Kuala Banda Aceh.
Saya sarankan agar beliau memimpin ikatan alumni Menwa Aceh. Tujuannya, agar Menwa bangkit kembali. Alumnus organisasi itu bisa membantu generasi dibawahnya untuk mendapatkan pekerjaan. Saya bukan orang Menwa. Namun, saran itu tetap saya berikan.
Tak lama setelah itu, Bang Amir menelpon saya. Dia bilang, hari ini kita akan deklrasikan pengurus alumni Menwa. Hadir saat itu, Munawar dari Aceh Tengah, Muklir, Bakhtiar dari Unimal Lhokseumawe, dan sejumlah pengurus aktif Menwa Unimal. Saya turut menjadi saksi momen itu.
Di akhir tahun 2011, saya dan Bang Amir, menemui Sheki Show. Salah seorang gitaris musik etnik asal Jepang. Show bisa berbasah Indonesia. Meski tak selancar orang Indonesia pada umumnya. Bang Amir pun memfasilitasi Show yang saat itu meriset Tari Saman di Aceh Tengah, Aceh Utara, dan Gayo Lues. Amir menunjukkan minatnya pada sejarah. Saya fahami, bahwa Bang Amir cinta sejarah. Dia menguasai tahun-tahun penting dalam sejarah Aceh. Bahkan, dia menghafal tahun itu dengan baik.
Cinta Keluarga
Bang Amir juga sangat mencintai keluarganya. Baginya, anak adalah amanah yang patut diperjuangkan hidupnya. Memberinya pendidikan yang layak dan membantunya memperoleh pekerjaan. Itu sudah dilakukan Bang Amir. Saya kenal ketiga anaknya, yaitu Arkis, Sarah, dan Giral. Arkis kini menjadi mahasiswa di perguruan tinggi swasta. Sarah, pernah menjuarai beberapa even modeling. Giral, si gendung yang suka baca komik.
Si Giral, paling sering dibawa oleh Bang Amir. Giral pula selalu nyeletuk lucu ditengah perbincangan kami. Itu pula membuat kami tertawa terbahak. Terkadang saya tidak setuju dengan argumen Bang Amir. Dia tak marah. Lalu, membaca kembali literature tentang tema yang kami diskusikan. Ketika argument saya benar, dia juga mengakui kebenaran itu.
Sakit Lever
Enam bulan lalu, saya ditelepon oleh istri Bang Amir, Ramlah. Kak Ramlah, begitu saya memanggilnya, mengabarkan kalau Bang Amir sudah sepekan sakit di rumah. Saya pun datang mengunjunginya. Waktu itu dia masih sanggup bangun. Kata Kak Ramlah, kalau bicara soal pembanguann dan politik, Bang Amir langsung sanggup bangun. Hilang sakitnya.
Setelah kunjungan itu, sebulan kemudian saya mengunjunginya lagi di Rumah Sakit Bunga Melati, Lhokseumawe. Saya sarankan agar beliau juga mengkonsumsi obat herbal. Setelah itu, saya hanya berkomunikasi lewat pesan singkat. Sepekan lalu, saya sempat mengirimkan pesan singkat. Menanyakan bagaimana kondisi kesehatannya. Dia menyebutkan, baru saja keluar dari rumah sakit dan menyatakan baik-baik saja. Saya berpikir bahwa beliau sudah sembuh. Ternyata, Tuhan berkata lain. Bang Amir dijemput kembali ke sisiNya. Takdir sudah sampai. Bang Amir sempat berobat ke Rumah Sakit Glenegles,Medan, Sumatera Utara. Mobil Avanza miliknya telah dijual. Biaya berobat terlalu tinggi Dek Dimas, begitu katanya kala itu.
“Ya, terpenting Bang Amir bisa sembuh. Bisa membuat program lagi di DPRK. Bisa berjuang untuk masyarakat yang Bang Amir wakili,” itu kalimat terakhir yang saya ingat dari Bang Amir. Kini, Bang Amir telah tiada. Dia meninggalkan tiga anak untuk melanjutkan perjuangannya. Selamat jalan Bang Amir. Semoga berada di surga terindah. Amin. [masriadi sambo]