BANDA ACEH - Masih ingat kasus penganiayaan dan ancaman penembakan terhadap Ahmadi, wartawan Harian Aceh, di Pulau Simeuelu bulan Mei lalu? Kini, tersangka yang menganiaya dan ringan tangan melepaskan dua peluru ke arah kaki wartawan itu mulai diadili.
Karena ia merupakan anggota TNI, malah saat itu menjabat Pasi Intel Kodim 0105 Simeulue, Lettu Inf Faizal Amin (29) akhirnya diadili di Pengadilan Militer (Dilmil) I-O1 Banda Aceh, Senin (20/12) kemarin. Terdakwa yang menganianya dan mengancam wartawan dengan dua kali tembakan itu didakwa merusak inventaris negara. Inventaris negara yang dimaksud oditur adalah dua butir peluru milik negara yang dia tembakkan ke tanah tempat berdirinya Ahmadi. Setelah kejadian itu, kedua butir barang milik negara itu tidak bisa digunakan lagi.
Oditur Militer dari Oditurat I-01 Banda Aceh, Mayor Sus Jamingun dalam dakwaannya menyebutkan terdakwa dijerat tiga pasal. Khusus dakwaan ketiga, dia dijerat Pasal 148 Ke-2 Kitab Undang-undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) tentang perusakan inventaris negara di luar situasi perang, sehingga diancam maksimal lima tahun penjara.
Berawal dari kayu
Adapun kronologis kejadian, dalam dakwaan pertama, korban (saksi I), Ahmadi (40) adalah wartawan Harian Aceh di Pulau Simeulue. Yang bersangkutan pergi ke pegunungan di Desa Serafon, Kecamatan Alafan, Simeulue, Selasa, 18 Mei 2010 sekira pukul 15.00 WIB.
Ketika itu, Ahmadi melihat beberapa orang sedang memotong kayu. Dari pembicaraan dengan orang di lokasi itu, Ahmadi mendapat informasi bahwa kayu yang dipotong itu milik oknum prajurit Koramil 08 Alafan, Pratu Zulfitra (tak diperiksa). Kemudian, Ahmadi melaporkan hasil temuan illegal logging itu kepada Dandim 0105 Simeulue. Namun, karena tidak di tempat, Dandim mengarahkan Ahmadi melaporkan temuan itu ke Faizal Amin.
Esoknya, sekira pukul 10.00 WIB, Ahmadi menghubungi terdakwa lewat hp melaporkan tentang kasus penebangan liar yang diduga dilakukan oknum TNI Pratu Zulfitra. Setengah jam kemudian, Ahmadi menjumpai Iptu Faizal di Makodim Simeulue untuk konfirmasi langsung.
Saat Ahmadi sudah tiba di Makodim, masuk sms dari Dandim ke hp Pasi Intel yang meminta dirinya agar menanggapi laporan Ahmadi. Kemudian Pasi Intel menjawab siap dan sudah bersalaman dengan wartawan Harian Aceh, Ahmadi. “Oke, dimonitor saja,” jawab Pasi Intel.
Selanjutnya, terdakwa dan korban berbicara tentang temuan penebangan liar itu. Intinya, Pasi Intel mengatakan untuk sementara berita ini tidak perlu di-blow up dulu. Terdakwa berjanji akan menurunkan anggota untuk mengecek ke lapangan terkait laporan Ahmadi. Kodim juga berjanji akan bertindak tegas.
Ahmadi menerima saran Pasi Intel, namun Ahmadi mengatakan temuannya itu tetap diberitakan, cuma ia tidak menulis oknun TNI serta instansinya. Alumnus Akmil Magelang ini setuju dengan tawaran Ahmadi, selanjutnya Ahmadi pulang ke rumah.
Sekira pukul 11.30 WIB, terdakwa menghubungi Pratu Zulfitra untuk menghadapnya di Makodim. Setiba di Makodim, Bati Intel Kodim, Serka Salman memeriksa Pratu Zulfitra. Yang bersangkutan mengakui dirinya sebagai pelaku illegal logging.
Kemudian, pada pukul 22.00 WIB, Pasi Intel melaporkan kepada Dandim mengenai hasil koordinasinya dengan Ahmadi. Intinya temuan penebangan liar itu tetap diberitakan, namun Ahmadi tidak mencantumkan keterlibatan oknum TNI serta korps kesatuannya. “Oke, tetap dimonitor terus. Anggota yang melakukan penebangan kayu sudah ditindak atau belum?” tanya Dandim ketika itu.
Pria asli Makassar ini menjawab, pemeriksaan yang bersangkutan sudah dicatat dalam berita acara pemeriksaan (BAP) dan sudah ditindak. “Oke, dimonitor,” jawab Dandim lagi.
Tetap diberitakan
Selanjutnya, pada Jumat, 21 Mei 2010 sekira pukul 08.30 WIB, anggota Siinteldam IM, Sertu Anwar (tidak diperiksa) melapor kepada terdakwa bahwa ada berita illegal logging lagi marak di Simeulue yang dimuat di halaman 14 Harian Aceh.
Terdakwa meminta Sertu Anwar membacanya lagi. Ternyata terdapat kalimat bahwa penebangan kayu di Desa Serafon ada keterlibatan oknum prajurit TNI. Singkatnya, setelah mengetahui isi berita itu, terdakwa meminta anggotanya membawa korban menghadapnya ke makodim.
Setiba di makodim, Pasi Intel memerintahkan anggotanya membawa Ahmadi ke lapangan tembak belakang makodim. Pada saat itu, terdakwa merampas tas ransel berisi laptop merek Axioo pada korban, kemudian terdakwa membuangnya ke jalan. “Kamu tidak konsekuen dengan omonganmu,” hardik Pasi Intel.
Kemudian terdakwa merampas hp merek Nexcom dari tangan korban dan membantingnya ke badan jalan hingga jatuh ke parit. Terhadap dakwaan pertama ini, perbuatan terdakwa dijerat melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHPidana tentang perusakan milik orang lain (alat kerja wartawan) sehingga diancam maksimal 2,8 bulan penjara.
Dakwaan kedua
Sedangkan dalam dakwaan kedua, ketika di lapangan tembak makodim, terdakwa yang emosi kepada korban karena tak konsekuen dengan omongannya menyikut korban dengan siku kanannya di dagu kiri, menampar pipi kanannya, dan meninju perut korban, masing-masing satu kali.
Hasil visum et repertum, dada kiri korban nyeri. Oleh karena itu, dalam dakwaan kedua, terdakwa didakwa oditur melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHPidana tentang penganianyaan. Ancaman maksimalnya 2,8 bulan penjara.
Terakhir, dalam dakwaan ketiga, saat di lapangan tembak makodim, terdakwa dua kali melepaskan tembakan ke tanah di sebelah kanan dan kiri korban. Akibatnya, amunisi yang dipercayakan kepada terdakwa tidak dapat dipergunakan lagi, karena rusak. Atas perbuatan ini, terdakwa dianggap melanggar Pasal 148 ke-2 KUHPM tentang perusakan inventaris negara. Ancaman maksimal lima tahun penjara.
Usai pembacaan dakwaan itu, Hakim Ketua Mayor CHK Waluyo, didampingi hakim anggota Mayor CHK Djundan dan Mayor SUS Martusin menayakan kepada terdakwa apakah sudah mengerti terhadap dakwaan itu. “Siap, sudah mengerti,” jawab terdakwa yang berdiri dalam sikap tegap.
Kemudian, terdakwa berkonsultasi dengan pengacaranya, Kapten CHK Beni Kurniawan. Beni menyatakan akan mengajukan eksepsi (nota keberatan) terhadap dakwaan itu. Selanjutnya, majelis hakim memutuskan sidang lanjutan dengan agenda pembacaan eksepsi terdakwa, Kamis (23/12).
Sidang kemarin dimulai sekira pukul 11.00 WIB, berlangsung sekitar satu jam. Selain korban dan sejumlah wartawan media cetak dan elektronik, sidang itu juga dipantau staf LBH Banda Aceh. (sal)
Akses m.serambinews.com dimana saja melalui browser ponsel Anda.